Sejak manusia pertama diciptakan, rasa ingin tahu mendalam sudah muncul dalam benak setiap orang. Ketidaktahuan atas berbagai hal memunculkan banyak pertanyaan yang merangsang pikiran untuk mencari jawaban. Hal ini wajar mengingat manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki makhluk lain: kemampuan untuk berpikir.
Dalam Islam, nabi dikenal sebagai manusia yang diberkahi wahyu sebagai informasi khusus yang tak bisa didapatkan setiap orang. Hal inilah yang membuat para nabi memiliki pemikiran yang terstruktur dan konstruktif sehingga memiliki pemahaman yang utuh.
Bagi manusia yang tidak mendapatkan informasi semacam wahyu, maka pemikiran mereka berkembang dimulai dengan cara yang paling abstrak dan perlahan mulai menjadi rasional dan metodologis. Inilah yang dilakukan para filusuf Yunani, yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu spesifik hingga saat ini.
Pemikiran nabi yang kemudian sampai pada nabi terakhir Muhammad menghasilkan kitab suci Alquran sebagai pedoman hidup. Alquran sebagai sumber informasi yang utuh membuat umat Islam terbiasa berpikir deduktif. Sebaliknya, filsafat yang berkembang di Yunani melahirkan berbagai ilmu pengetahuan yang rasional, empiris, dan metodologis sehingga membiasakan manusia untuk berpikir induktif.
Melitos Sebagai Permulaan Filsafat Yunani
Pada dasarnya, filsafat dalam pengertian hakiki sebagai jalan hidup dalam upaya pencarian kebijaksanaan sudah berkembang sejak manusia pertama diciptakan. Namun jika kita mendefinisikan secara khusus filsafat sebagai ilmu dan alat, maka kita akan menemukan Melitos merupakan tempat asal mula perkembangan filsafat pada abad ke-6 sebelum Masehi.
Melitos terletak di Asia Minor (Turki saat ini) dan berada tidak terlalu jauh dari Yunani. Melitos menjadi tempat yang layak bagi pemikir awal filsafat karena statusnya sebagai kota besar dan terpenting dari seluruh wilayah milik Ionia. Kota ini memiliki pelabuhan yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan penduduk dari wilayah lain. Informasi dapat bertukar begitu cepat dan persinggungan budaya banyak terjadi.
Sebenarnya, filsafat yang berkembang di Melitos dan Yunani merupakan bentuk penyangkalan terhadap kepercayaan (mitos) yang berkembang di masyarakat tentang persetubuhan tanah dengan langit, tentang Venus yang muncul dari lautan, Zeus yang melontarkan halilintarnya, serta kepercayaan serupa lainnya. Filsafat pada permulaannya lebih banyak membahas tentang alam, terutama bagaimana alam ini terbentuk dengan segala keteraturan yang menyertainya. Pada periode ini terbahas juga pertanyaan tentang entitas yang menjadi awal dari segala penciptaan.
Thales: Air sebagai Permulaan
Dapat dikatakan bahwa Thales merupakan pemikir awal yang dikenal sebagai bapak filsafat alam dan tinggal di Melitos. Gelar ini setidaknya disematkan oleh Aristoteles yang hidup sekitar 2 abad setelahnya. Disebutkan bahwa Thales hidup pada sekitar tahun 625-545 SM, bekerja sebagai saudagar yang sering berlayar ke Mesir. Ia dikenal sebagai ahli politik yang juga mempelajari matematika dan astronomi. Pengetahuannya tentang astronomi salah satunya dibuktikan dengan memprediksi secara akurat kapan gerhana matahari akan terjadi pada waktu itu.
Thales senang terlena dalam kesendiriannya. Ia menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan mencari jawaban untuk pertanyaan seputar penciptaan alam semesta. Daripada memercayai tahayul yang masyhur di masyarakatnya saat itu, ia mencoba berpikir rasional.
Thales menyimpulkan bahwa permulaan dari segalanya adalah air. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala penciptaan. Pemikirannya ini terkonstruksi dari pengamatan selama pelayaran dari dan ke Mesir yang mengarungi lautan luas, serta pengamatan tentang bagaimana Sungai Nil mampu memberi penghidupan bagi lingkungan sekitarnya. Saat itu, pemikiran Thales dianggap sebagai sesuatu yang tak lazim.
Anaximandros: Gagasan tentang Apeiron
Anaximandros merupakan murid dari Thales. Ia dikisahkan hidup pada 610-547 SM dan tumbuh sebagai ahli astronomi dan ilmu bumi. Ia dianggap berjasa sebagai salah satu orang pertama yang membuat peta bumi. Berbeda dengan Thales yang pemikirannya lebih banyak terucap secara langsung, Anaximandros mencatat setiap pemikirannya dan karangannya tersebut dan menjadi salah satu literatur paling tua dari filsafat.
Sama seperti Thales, Anaximandros mencoba mencari tahu permulaan dari alam semesta dan proses kejadiannya. Ia mengungkapkan bahwa segalanya berasal dari entitas tunggal. Sesuatu yang tunggal itu merupakan permulaan yang tidak berhingga dan tidak berkeputusan. Pernyataan ini juga menyangkal pendapat gurunya yang mengatakan bahwa air merupakan asal dari segalanya.
Anaximandros menamai sesuatu yang menjadi permulaan itu sebagai Apeiron. Apeiron disebutnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dirupakan atau dibandingkan dengan seluruh benda yang ada di dunia ini. Apeiron itu menjadi permulaan dan tidak memiliki lawan, sedangkan segala yang ada di dunia ini memiliki batas dan lawan.
Pemikiran ini membuatnya terlihat lebih baik daripada gurunya. Namun kekurangan dari pemikirannya adalah pada penjelasan tentang kejadian pembentukan alam dan bagamana dunia ini berada diantara langit. Jika menilik keadaan pada masa itu dengan pengembangan ilmu astronomi yang terbatas, maka wajar jika kemudian ia gagal dalam mendeskripsikan bentuk bumi dan langit.
Anaximenes: Tentang Udara dan Jiwa Manusia
Anaximenes hidup sekitar tahun 585-528 SM dan merupakan murid dari Anaximandros. Ia merupakan guru filsafat alam terakhir dari kalangan Melitos sebelum daerah tersebut dihancurkan oleh Persia. Secara umum, Anaximenes memiliki pandangan yang sama dengan gurunya terutama tentang asal yang satu dan tentang bagaimana alam terbentuk.
Berbeda dengan gurunya yang mengatakan bahwa yang satu itu berbeda dengan segala yang ada di dunia, Anaximenes mengatakan bahwa satu yang menjadi permulaan itu ada di dunia ini. Sesuatu itu adalah udara. Pada tingkat ini, Anaximendes memiliki pemikiran yang serupa dengan Thales.
Udara adalah bentuk dari jiwa dan menyatu dengan tubuh manusia. Pernyataannya ini merupakan awal dari pembahasan tentang jiwa sebagai bagian dari manusia. Jiwa menjadi semacam ‘alam kecil’ yang terletak dalam tubuh manusia.
Anaximenes lebih terbelakang dari gurunya soal penjabaran bentuk dunia dan semesta ini. Ia mengatakan bahwa bahwa dunia ini berbentuk datar. Lalu, baginya benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan bintang dilahirkan oleh bumi melalui uap Bumi yang naik ke atas menjadi api dan kemudian membentuk ketiganya.
Hikmah Pemikiran
Dasar pemikiran filsafat adalah melandaskan sesuatu dari masalah atau keadaaan khusus untuk kemudian dicari kesimpulan umumnya. Proses berpikir seperti ini sangat bagus untuk membentuk pemikiran yang lebih metodologis. Namun pada suatu titik, berpikir induktif semacam ini membuat pandangan manusia menjadi materialistik sehingga terkadang mengenyampingkan aspek-aspek lain yang berada di luar nalar manusia.
Wahyu yang dikemas dalam bentuk kitab suci memberikan perspektif berbeda dalam berpikir. Wahyu merupakan solusi umum untuk menyelesaikan berbagai permasalahan khusus. Lalu, mana yang harus dipakai? Tentu saja keduanya! Sebenarnya, dua proses berpikir inilah yang dikembangkan ilmuwan dan filusuf Islam abad pertengahan sehingga kemudian masa mereka disebut sebagai The Golden Age of Islam. []
Referensi
1. Muhammad Hatta dalam buku ‘Alam Pikiran Yunani’
2. Prof. Dr. K. Bertens dalam buku ‘Sejarah Filsafat Yunani’
3. Imron dalam jurnal ‘Sejarah Filsafat; Filsafat Kuno “ Periode Axial” dan Asal-Usulnya’