|
(source: Qureta) |
Pada pertengahan abad ke-5 SM, muncul aliran baru dalam filsafat yang disebut sofisme, dengan penganutnya yang disebut kaum sofis. Gelar sofis (sophos) yang berarti cerdik atau pandai, disematkan kepada para filusuf yang ahli bahasa, filsafat, politik, dan lainnya. Aliran ini lahir dan tumbuh di Athena, kemudian menyebar pesat ke penjuru Attika.
Pada saat itu, Athena sebagai pemimpin dari kesatuan kota-kota di Yunani berhasil mengalahkan Persia dan kemudian dikenal sebagai negeri yang makmur. Masyarakat di Athena saat itu dikenal sangat mengagungkan pemikiran dan ide. Dalam kesehariannya,mereka banyak berdiskusi satu sama lain mengenai keadaan yang ada atau sejenisnya.
Beberapa orang cerdik menjadi pejabat pemerintahan demokratis. Banyak pula saudagar kaya yang pekerjaannya sudah dilakukan oleh para budaknya sehingga lebih banyak mengerjakan hobi atau belajar sesuatu.
Kaum sofis memberi pengaruh besar dalam dunia filsafat dalam dua hal yang saling berkebalikan. Mereka membahas soal yang lebih dekat kepada keseharian manusia sehingga membuat banyak orang merasa memerlukan pengetahuan yang mereka miliki sehingga filsafat lebih dekat dengan masyarakat. Namun di sisi lain, mereka tidak lagi mengembangkan ilmu dan pemikiran di jalan yang sunyi. Kaum sofis membawa soal-soal yang mereka ketahui ke tengah-tengah masyarakat, mempersilahkan siapapun untuk belajar kepadanya, namun diharuskan membayar sejumlah mahar tertentu.
Kaum Sofis dan Pengetahuan yang Relatif
|
Sofisme (source: Qureta)
|
Kaum sofis menghadirkan filsafat di tengah-tengah masyarakat sehingga bisa dipelajari siapapun. Mereka memandang manusia sebagai makhluk yang berpengatahuan dan berkemauan. Ada dua alasan yang membuat ajaran mereka dikenal dan diterima dengan begitu cepat.
Pertama, kaum sofis mengajarkan soal-soal yang dekat dengan keseharian masyarakat di Athena. Materi utamanya adalah soal hukum, pidato, dan retorika. Kebanyakan muridnya adalah saudagar yang memiliki banyak waktu luang. Saat itu, Athena menganut sistem demokrasi langsung tanpa perwakilan, dimana siapapun dapat bersuara, juga memengaruhi kebijakan pemerintah. Banyak orang merasa perlu memiliki pengetahuan tentang retorika dan logika untuk mengutarakan pendapatnya di hadapan pemerintah. Kemampuan retorika juga diperlukan untuk mempengaruhi putusan sidang.
Kedua, kaum sofis memegang prinsip subyektifitas kebenaran. Mereka meniadakan kebenaran mutlak, dimana setiap orang dianggap bisa memiliki kebenarannya masing-masing. Hal ini membuat setiap kelompok dan setiap orang membawa kebenarannya sendiri, dimana kekuatan kebenaran tersebut dapat diukur dengan kemampuan retorika. Ketiadaan unsur tanggungjawab dalam pengutaraan pendapat inilah yang kemudian membuat orang banyak belajar kepada mereka, tanpa perlu takut keliru.
Karena setiap guru sofis mengajari muridnya tentang kebenaran menurut pandangan mereka sendiri, maka terdapat kemungkinan kebenaran yang diajarkan guru yang satu berbeda dengan guru yang lain. Mereka mengemukakan, suatu teori dapat bernilai benar hari ini dan kemungkinan besok menjadi salah dan karena itulah pendirian bisa atau boleh berubah-ubah.
Mereka percaya bahwa kebenaran yang sebenar-benarnya tidak akan pernah tercapai, sehingga setiap pendirian boleh dibenarkan. Ajaran ini terpengaruh atau setidaknya berkaitan dengan ajaran Herakleitos. Oleh karena kebenaran yang dibawa dan diajarkan bersifat relatif, kaum sofis lebih banyak mengajarkan pidato dan retorika sebagai ilmu untuk menguatkan pendapat.
Kapitalisasi Pendidikan ala Kaum Sofis
|
(source: NYPL Digital Collections) |
Dalam kultur masyarakat di Athena saat itu, ilmu pengetahuan menjadi barang mewah yang diinginkan semua orang. Bukan pengetahuan yang mendalam, namun pengetahuan yang bisa dibincangkan sehari-hari. Model pemerintahan dimana rakyat bisa langsung mengeluarkan uneg-unegnya kepada pemerintah yang berkuasa juga membuat banyak orang tertarik belajar logika dan retorika.
Kehidupan yang makmur memungkinkan orang-orang di Athena untuk belajar di waktu luangnya. Saat itu, kebanyakan orang kaya memang tidak bekerja. Terdapat keyakinan bahwa bekerja hanya dilakukan oleh orang yang tidak merdeka sehingga banyak pekerjaan dari perniagaan orang kaya dikerjakan oleh budaknya.
Kondisi yang seperti ini memberikan kesempatan besar bagi kaum sofis menjajakan pengetahuannya dan tentu saja dengan mematok harga tertentu. Kebanyaka muridnya adalah para saudagar kaya yang memang memiliki waktu luang. Kaum sofis bisa dikatakan sebagai kelompok pertama yang menerapkan kapitalisasi pendidikan dan inilah salah satu sisi negatif sofisme.
Sebuah Paradoks
|
Parthenon (source: Wikipedia) |
Kaum sofis adalah sebuah paradoks dalam alam pikiran Yunani. Mereka termasuk golongan pertama yang merubah pandangan filsafat dari seputar alam besar (alam semesta) menuju alam kecil (pikiran manusia). Sofisme merubah topik pembicaraan seputar kejadian alam dengan anasir utamanya menjadi soal kehidupan sehari-hari. Karenanya, filsafat lebih banyak diterima oleh masyarakat dan membahas soal yang lebih bermanfaat secara langsung.
Berkat sofisme pula, muncullah nama-nama pemikir besar seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles yang memiliki cara pandang sama dengan kaum sofis (fokus pada alam kecil, pikiran manusia) namun kehadirannya menentang sofisme.
Namun di sisi lain, kaum sofis tidak memiliki tujuan untuk menemukan kebenaran yang hakiki dan kebijaksanaan hidup, berbeda dari para filusuf sebelum-sebelumnya. Apalagi, orientasi kepada uang juga membuat mereka tidak memiliki kebijaksanaan sebagai ahli pikiran. Pada masa kering inilah kemudian muncul Sokrates yang mempertanyakan kemampuan para guru sofis. []
More From Author
Filsafat