Tetangga : Wah, sudah besar ya kamu, nak. Kerja atau lanjut kuliah?
Saya : Saya kuliah bu.
Tetangga : Kuliah dimana?
Saya : Saya di UM, jurusan fisika.
Tetangga : Oh, UM ya. Anak saudara saya seusia kamu juga kuliah di UM.
Saya : Oh, benarkah? Ambil jurusan apa?
Tetangga : Ehm, apa ya? Kalau tidak salah di Fakultas Tarbiyah.
Saya : Fakultas Tarbiyah? Di UM tidak ada Fakultas Tarbiyah, bu.
Tetangga : Ada kok. Saudara saya sendiri yang bilang.
Saya : Benar bu. Di UM tidak ada fakultas itu. Adanya cuma pendidikan bahasa arab.
Tetangga : Lho, kok gitu? Universitas Muhammadiyah Malang, kan?
Saya : Aduh, bukan bu. Yang benar itu Universitas Negeri Malang. Kalau itu ya UMM namanya.
Tetangga : Oh, gitu ya. Tapi saya kok jarang dengar Universitas Negeri Malang ya.
Saya : Masak? Padahal kampus terkenal lho.
Tetangga : Iya, benar-benar tidak tahu.
Saya : Ehm,.. Ibu tahu IKIP Malang?
Tetangga : Nah, kalau itu baru tahu. Dulu terkenal banget kampusnya.
Saya : Sebenarnya sama saja, bu. -_-
Pernah mendengar cerita seperti ini? Atau malah pernah mengalami secara langsung? Jika iya, tenang saja! Banyak mahasiswa UM lainnya yang mempunyai cerita mirip.
Salah satu hal yang menjadikan dilema bagi seseorang adalah ketika dia mendapat label ‘Mahasiswa Universitas Negeri Malang’. Memang, saat ini UM bisa dibilang sebagai kampus ‘pertengahan’ diantara kampus-kampus yang ada di Indonesia. Berlabel Perguruan Tinggi Negeri tak menjadikan UM sebagai kampus yang disegani dan begitu diminati. UM bukanlah kampus bonafit. Suasana ilmiah belum begitu terasa di kampus ini, pun demikian dengan prestasi sebagai institusi dan para mahasiswanya secara nasional maupun internasionalnya. Dari segi infrastruktur, UM belum menyediakan segala yang terbaik bagi mahasiswanya. Berbagai fakta inilah yang kadang dijadikan kambing hitam bagi mereka yang menolak untuk mengenyam perkuliahan di ‘Kampus Pendidikan’ ini.
Ada cerita lain. Saat menjadi mahasiswa baru, pertanyaan yang sering muncul adalah, “Kenapa kamu ambil jurusan ini di UM?”. Dan jawaban yang sering muncul juga, “Sebenarnya saya ingin ambil di kampus lain yang lebih bagus. Tapi ya gitu, tidak lolos. Akhirnya terpaksa ambil di UM.” Meskipun ada juga orang berprinsip yang dengan elegan menjawab, “Saya ingin jadi guru, menjadi seseorang yang ikut mencerdaskan anak-anak Indonesia.” Ya, seperti itu lah kenyataannya.
Adanya label ‘Kampus Pendidikan’ terkadang juga membuat orang-orang melirik dengan sebelah mata. Betapa tidak, guru merupakan profesi yang tidak begitu diminati di Indonesia. Menjadi guru adalah pekerjaan yang melelahkan dengan gaji pas-pasan. Apalagi proses yang bisa dibilang rumit untuk meraih titel S. Pd (Sarjana Pendidikan) dan juga persaingan yang ketat dengan adanya seleksi CPNS bagi yang ingin menjadi guru di sekolah negeri. Juga, fasilitas sebagian besar sekolah yang bisa dibilang pas-pasan juga menjadi sebab pandangan bahwa menjadi guru adalah sesuatu yang melelahkan dengan banyak aturan.
Sisi Lain UM
Tak ada sesuatu yang selalu buruk maupun selalu baik. Mendengar dan membaca berbagai sisi miring UM, membuat saya tertarik untuk membedah sisi lain dari kampus ini. Salah satu hal yang menarik adalah pernyataan dari banyak orang yang mengakui kualitas IKIP Malang, sebelum berubah nama menjadi UM tahun 1999.
IKIP Malang dikenal sebagai kampus yang mencetak guru berkualitas dan tersebar ke seluruh penjuru nusantara. IKIP Malang juga pernah dinyatakan sebagai salah satu dari 10 Perguruan Tinggi Pembina di Indonesia pada tahun 1967. Ada juga prestasi yang begitu membanggakan di kancah internasional. Tahun 1967, program studi Bahasa Inggris dinilai terbaik se-Asia Tenggara oleh The Ford Foundation. Berbagai prestasi inilah yang membuat nama IKIP Malang melambung dan mendapat tempat di hati masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, mulailah bermunculan berbagai Perguruan Tinggi negeri maupun swasta. Meskipun secara kualitas bisa dibilang lebih baik dari kampus swasta, namun banyak kampus negeri berlabel ‘Kampus Pendidikan’ yang mulai menyalip kualitas UM. Hal ini lah yang membuat nama UM semakin hari semakin meredup.
UM bukan tanpa perkembangan dan prestasi saat ini. Kampus ini mulai menggeliat di kancah regional dan nasional. Peningkatan prestasi yang cukup baik ditorehkan mahasiswa UM melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Lebih membanggakan lagi, Um mendapat akreditasi institusi sangat baik, A. Satu hal yang bisa dibanggakan UM sebagai ‘Kampus Pendidikan’ adalah sikap dan sifat mahasiswanya. Seorang dosen pernah berkata tentang pengalaman tim akreditasi saat mewawancarai mahasiswa, “Mahasiswa UM itu lebih santun dan bermoral. Tidak seperti kampus itu. Dari segi infrastruktur dan fasilitas penunjang mahasiswa memang kampus itu lebih baik, tapi pembinaan moral mahasiswanya sangat kurang.” Memang, sebagai kampus yang mencetak calon pendidik UM menerapkan sistem pendidikan yang didalamnya memuat aturan sikap sebagai calon pendidik. Tentunya seorang calon pendidik harus memberi contoh baik bagi siswanya. Bahkan system pendidikan yang seperti ini juga mempengaruhi cara dosen prodi non kependidikan dalam mengajar mahasiswanya. Cerita lain dari seorang teman, “Saya agak kaget melihat mahasiswi UM, seperti tak ada bedanya dengan kampus UIN. Sebagian besar mahasiswi disini memakai jilbab.”
Satu Hal yang Menjadi Penguat: Saya bisa Mencerdaskan Bangsa Ini
Mengambil program studi Pendidikan Fisika sempat menjadi dilema sesaat sebelum mendaftar dan diterima melalui jalur undangan SNMPTN. Saya tidak terlalu mempunyai pandangan jauh untuk menjadi pendidik. Seiring berjalannya waktu, setlah menjadi mahasiswa, saya mulai memahami betapa pentingnya posisi seorang guru. Guru memang tidak dicetak menjadi pemimpin secara langsung. Namun, melalui guru-lah banyak pemimpin-pemimpin dicetak. Dan juga, salah satu hal yang mempengaruhi karakeristik seseorang adalah lingkungan sekolahnya. Ini yang menjadi tanggungjawab besar seorang guru.
Satu hal lagi yang menjadi penguat bagi saya agar selalu termotivasi untuk menitih jalan sebagai pendidik adalah karena kemuliaan seorang guru. Agama sudah merajut dengan kata-kata yang indah tentang ini. Juga, apa yang dikatakan oleh Kaisar Jepang, Hirohito, setelah di bom atomnya kota Hiroshima dan Nagasaki. Beliau bertanya pada jendralnya. “Berapa guru kita yang masih hidup?” Sang jendral yang keheranan dengan pertanyaan itu menimpali pertanyaan itu dengan pertanyaan lain, "Mengapa justru yang anda tanyakan adalah adalah tentang guru, bukan tentara? Banyak tentara kita yang gugur untuk membela Kaisar dan Tanah Air kita" Sang Kaisar menjawab, “Selama masih ada guru yang hidup, kita akan bias membangun Jepang dengan cepat.” Kita tentu dapat menyimpulkan sesuatu dari apa yang dikatakan oleh Kaisar Jepang.
Dan Inilah Kampusku
Dan akhirnya, inilah aku dan inilah kampusku. Aku yang disiapkan dan menyiapkan diri sebagai seorang pendidik tengah menyiapkan jalan dan masa depanku. Kampusku yang menyiapkan lulusannya bukan sebagai pemimpin, namun menyiapkan lulusannya sebagai pencetak pemimpin. Dan kamu, mana kampusmu? []