Sabtu, 28 Februari 2015, adalah pertama kalinya aku mengunjungi dan mengikuti kajian di masjid Abu Dzar Al-Ghifari. Tidak seperti biasanya, ini adalah kajian yang istimewa. Keistimewaannya adalah pada materi dan pematerinya, juga karena aku mulai mencoba mengikuti kajian di masjid luar kampus, yang biasanya hanya mengikuti kajian dalam kampus. Ustadz Budi Ashari, ahli sejarah islam itu, datang ke Malang untuk mengisi kajian ba'da subuh dan ba'da maghrib di masjid Al-Ghifari, serta meresmikan pembukaan khuttab Al-Fatih Malang di hari ahad. Aku mengikuti kajian sabtu ba'da maghrib dengan tema 'Pemuda: Antara Hijaz & Amerika' mirip dengan judul buku yang pernah ditulis sang pemateri.
Bagiku, inti kajian yang disampaikan ust. Budi Ashari saat itu justru di bagian pembukaannya. Beliau mengatakan, “Berbahagialah jika dalam suatu majelis terdapat lebih banyak pemudanya daripada orang tua, karena itu adalah pertanda bahwa kebangkitan peradaban Islam akan terjadi ditempat itu.” Suatu pernyataan yang menarik di satu sisi sekaligus memilukan di sisi lain. Menarik karena ini menunjukkan peran sentral pemuda bagi kebangkitan peradaban Islam. Memilukan karena keadaan yang ada saat ini tidak sesuai harapan yang telah disebutkan. Kebanyakan, ketika waktu shalat wajib sudah tiba masjid dipenuhi oleh orang-orang yang sudah tua. Jarang sekali ada pemuda yang terlihat berada di masjid untuk menunaikan shalat di awal waktu. Ini juga berlaku pada kegiatan lainnya yang berlabel keagamaan.
Di salah satu bagian ceramah disebutkan, pemuda adalah kekuatan diantara dua kelemahan. Posisi pemuda adalah diantara anak-anak dan orang tua. Anak-anak adalah sosok yang lemah dan sedang mengalami proses petumbuhan dan perkembangan, sedangkan orang tua adalah sosok yang sudah mulai bekurang fungsi organ tubuhnya hingga menjadi lemah. Disinilah keistimewaan seorang pemuda terlihat. Selain itu, fase muda adalah suatu titik dimana seseorang mudah untuk menerima hidayah serta menyebarluaskannya. Pada fase anak-anak, keinginan dan kesadaran untuk belajar terkadang masih kurang. Pengalaman adalah salah satu penyebab belum bisa munculnya keinginan itu. Pada fase tua, seseorang cenderung memanfaatkan ibadahnya untuk dirinya sendiri, karena memang kemampuannya mulai berkurang untuk beraktifitas.
Dalam Al-Qur'an, hampir tidak ada ayat yang menjelaskan sesuatu tentang pemuda secara negatif. Meskipun ada, itu masih bisa ditutupi dengan penguatan melalui cerita lain. Misalnya adalah cerita tentang nabi Ibrahim yang berani menghancurkan berhala sesembahan kaumnya saat berusia belasan tahun. Ada juga kisah tujuh orang pemuda yang mendiami gua (ashabul kahfi) dan terekam dalam bagian awal surah Al-Kahfi (surah ke 18). Kisah lainnya adalah tentang nabi Daud. Ketika usia beliau masih muda, beliau menawarkan dirinya untuk bergabung dengan pasukan Thalut melawan rezim Jalut. Sempat di tolak karena umurnya yang terlalu muda, akhirnya beliau diterima untuk bergabung dengan pasukan Thalut. Akhirnya, Daud-lah yang berhasil membunuh raja Jalut (Al-Baqarah 2:251).
Selain cerita dalam Al-Qur’an, seluruh sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga adalah orang-orang yang berusia dibawah beliau ketika diangkat sebagai rasul. Meskipun tidak semuanya menyatakan ke-Islam-an di awal nubuwwat, namun ini menunjukkan bahwa ditangan pemuda-lah peradaban Islam berkembang. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah yang paling tua. Usia beliau 3 tahun lebih muda daripada Rasulullah. Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf, serta Utsman bin Affan berusia kepala tiga saat Muhammad diangkat menjadi rasul. Bahkan, 5 orang lainnya berusia dibawah 20 tahun, termasuk diantaranya Ali bin Abi Thalib.
Kisah lain tentang pemuda adalah tentang Usamah bin Zaid, anak Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah adalah salah satu sahabat yang paling setia dan pernah mengangkatnya sebagai anak. Usamah bin Zaid mendapat tempat terhormat karena kedudukan ayahnya. Namun, dia tidak mendapat simpati ketika Rasulullah mengutusnya sebagai pimpinan perang melawan Romawi. Betapa tidak, saat itu usianya baru 18 tahun dan lawan yang dihadapi adalah penguasa peradaban saat itu, Romawi. Akhirnya, Usamah dan pasukannya tetap berangkat untuk menghadapi Romawi. Sayangnya, dalam perjalanan menuju medan pertempuran rasulullah wafat dan dia mendapati kabar tersebut. Akhirnya dia kembali ke Madinah.
Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, perdebatan mengenai ekspedisi untuk menyerang Romawi muncul kembali. Sebagian besar, termasuk Umar bin Khattab, meminta agar pengerahan pasukan perang dibawah pimpinan Usamah dibatalkan untuk berangkat. Salah satu alasannya adalah karena banyak orang yang murtad dan berencana menyerang Madinah setelah rasulullah wafat. Jadi perlu disiagakan pasukan untuk menjaga Madinah. Namun Abu Bakar mempunyai pemikiran lain. Beliau berkata, “Aku tidak akan merubah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Muhammad.” Akhirnya, pasukan Usamah tetap diberangkatkan ke medan perang. Abu Bakar mengantar keberangkatan pasukan Usamah sampai gerbang keluar Madinah dengan berjalan kaki.
Beberapa kali Usamah menawarkan agar Abu Bakar menaiki kudanya dan Usamah yang berjalan kaki. Beberapa kali pula sang khalifah menolaknya. Hingga akhirnya Abu Bakar berkata, “Biarkan kakiku ini merasakan debu yang mengantar pasukan ini untuk berjihad.” Inilah penghormatan yang sangat tinggi seorang khalifah terhadap seorang pemuda. Akhirnya, Usamah dan pasukannya dapat menaklukan Romawi. Selain itu, kekhawatiran akan penyerangan terhadap Madinah tidak terbukti. Ini dikarenakan orang-orang yang pada awalnya berniat menyerang kaum muslim, melihat pasukan Usamah dengan jumlah besar saat perjalanan menuju medan perang, sehingga bergetar hatinya dan nyalinya menjadi menciut.
Tentang Hijaz dan Amerika, itu merupakan analogi yang menyatakan kiblat pemuda dunia saat ini. Hijaz merupakan istilah yang pernah dipakai untuk menyatakan wilayah yang terdiri dari Makkah dan Madinah sebagai bagian utama, serta Jedda sebagai bagian lainnya. Pemuda Hijaz dianalogikan sebagai pemuda yang mengerti ilmu agama dan mena'atinya, sehingga berpengaruh terhadap sikapnya sebagai pemuda.
Pemuda Amerika dianalogikan sebagai pemuda yang orientasi hidupnya unuk dunia dan tidak mengenal kehidupan agama. Penganalogian ini tentu mempunyai maksud tertentu yang sangat jelas. Betapa pemuda Indonesia saat ini menempatkan Amerika sebagai kiblat segala aspek kehidupan. Sampai-sampai, ustdaz Budi Ashari berkata, ”Meskipun Qardawi berulang kali mengunjungi Indonesia dan mengatakan bahwa kebangkitan Islam akan terjadi di Indonesia. Belum, itu belum bisa terjadi. .”
Begitulah pemuda dan segala keistimewaannya. Ada yang menyadari perannya sehingga setiap keadaan dimanfaatkan dengan baik untuk belajar dan member manfaat bagi sesama. Ada yang bersikap biasa saja, dan kemungkinan akan sangat menyesali keadaanya ketika sudah tua. Ada juga yang tidak peduli akan kedudukan dan perannya. Kehidupannya hanya ditujukan untuk kesenangan dunia.Lalu, berada di posisi manakah kita sebagai pemuda? []