Saat berkumpul bersama teman atau sahabat, apa tema pembicaraan yang sering kalian bahas? Apakah pembicaraan tak remeh soal ekonomi, sosial-budaya, olahraga, pendidikan, sains teknologi, atau lainnya pernah menjadi tema menarik dalam sebuah perbincangan santai? Atau mungkin, hampir semua pembicaraan ringan itu membahas soal kehidupan pribadi: asmara, hobi, wisata, atau mungkin berghibah ria?
Tak ada yang salah jika sebuah pembicaraan ringan hanya diisi soal-soal kehidupan pribadi, bahkan normalnya memang begitu. Siapa juga yang mau membahas soal ekspansi manusia ke Bulan untuk membentuk koloni di sana, saat malam-malam duduk santai di pinggir jalan sambil makan gorengan dan menyeduh hangatnya kopi?
Sebenarnya, percaya atau tidak, perbincangan masalah besar dalam ruang santai adalah sebentuk kepedulian kita pada soal-soal itu, terutama jika membahas peran stakeholder di dalamnya. Kita bicara hukum sambil main catur, bicara ekonomi sambil nonton TV, bicara budaya sambil tiduran karena capek sepulang kuliah, menunjukkan kepedulian kita akan hal itu. Sebentuk nasionalisme.
Jika kalian percaya bahwa Yunani kuno adalah ibu kandung dari sebuah negara demokratis, maka kalian juga harus percaya bahwa pada masa itu itu soal hukum banyak diperbincangkan saat jual-beli. Orang-orang yag bersantai di pinggir lapangan pada sore hari banyak membahas kebijakan pemerintah. Apalagi penyair yang mengumandangkan bait-bait puisinya soal banyak hal dipusat keramaian kota.
Nasionalisme sendiri berkaitan dengan rasa cinta dan upaya mempertahankan kedaulatan negara. Kita punya nasionalisme olahraga, nasionalisme politik, nasionalisme pendidikan, nasionalisme ekonomi, nasionalisme sosial-budaya, nasionalisme sains-teknologi (sainstek), dan nasionalisme bentuk lainnya yang gairahnya tak selalu sama, bahkan ada yang cenderung berlawanan.
Kita punya nasionalisme olahraga, yang entah kenapa sehancur apapun prestasinya, tak akan padam dukungan kita mengalir. Sepak bola misalnya. Nirprestasi, tawuran antarsuporter, serta bobroknya birokrasi organisasi sepakbola nasional seakan menjadi cambuk yang malah memacu semangat untuk menatap masa depan yang lebih baik. Bahkan, pemerintah negeri ini dengan percaya diri tinggi mengajukan diri sebagai tuan rumah perhelatan paling akbar dalam jagad sepak bola, piala dunia di tahun 2022. Meskipun akhirnya gagal, namun masih ada harapan besar yang tersemat di dada pelaku serta pencinta sepakbola nasional.
Hampir serupa dengan gairah bulu tangkis negeri kita, bedanya adalah prestasi cukup baik. Dan mungkin kita akan selalu setia mencari nama Indonesia dalam daftar peringkat di pagelaran semacam SEA Games, Asian Games, maupun Olympic Games.
Kita punya nasionalisme ekonomi yang gairahnya fluktuatif. Kita pesimis, pemerintah juga pesimis. Kita optimis, tapi pemerintah tiba-tiba impor bahan pangan, harga barang lokal jadi anjlok, dan akhirnya kita jadi pesimis. Lalu kemudian tiba-tiba pemerintah optimis, tapi kita sudah terlanjur tak berdaya dan pesimis. Dalam perbincangan di warung-warung atau pinggir jalan, mimpi-mimpi soal kemakmuran, swasembada pangan, dan harga terjangkau hanya berakhir pada kemewahan imajinasi.
Tapi di lain sisi, kita adalah bangsa beradab dengan ketaatan pada Tuhan, bangsa yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keagamaan. Kekayaan budaya juga menjadi semangat tersendiri dalam mencitai negeri ini. Orang-orang luar sana memandang kita sebagai bangsa yang ramah karenanya.
Pada akhirnya, nasionalisme bukan cuma soal jargon-jargon semu soal cinta tanah air. Ia merupakan upaya gotong-royong mencintai, melindungi, dan memajukan negeri ini. Sebuah upaya yang harus diusahakan masyarakatnya, dan pasti juga pemerintah negaranya. Soal mencintai negeri sebagai tanda nasionalisme, bukankah seorang yang sedang mencintai lawan jenisnya akan selalu memikirkan dan membicarakan orang tersebut, juga berupaya selalu dekat dengannya? []