Jika bertemu orang Indonesia lalu meminta dia untuk menyebutkan apa saja hal negatif yang dimiliki negerinya, mungkin dengan tangkas ia akan menjawab dengan salah satu atau beberapa opsi berikut: Pertambangan yang sepenuhnya dikendalikan dan dikuasai asing; Korporasi luar menguasai perekonomian nasional; Harga barang kebutuhan pokok sangat tinggi; Korupsi merajalela; Konflik antar kelompok etnis, politik, dan agama yang tak pernah selesai; Lapangan pekerjaan yang terbatas; Atau, rendahnya martabat bangsa ini dimata masyarakat dunia.
Masyarakat kita terlalu paham betapa ringkihnya pondasi negara ini. Hingga, paradigma yang tumbuh di masyarakat adalah bahwa negara ini tak punya masa depan, “Hidup segan, mati pun tak mau.” Ibaratnya juga, seperti menyusuri hutan belantara yang tak pernah dijamah manusia. Tak tahu apa yang akan dihadapi didepannya nanti. Apakah akan mendapati sumber mata air yang didalamnya terdapat ikan dalam jumlah melimpah sebagai sumber makanan? Ataukah jurang yang licin lagi curam? Dan bisa jadi semak belukar yang tak bertepi.
Sebenarnya, bukan keterbatasan sumberdaya alam dan kondisi lingkungan yang membuat bangsa ini terpuruk. Dunia mengakui kekayaan yang cenderung ‘overdosis’ dari sumber daya alam kita. Dan masyarakat dunia talah memaksakan dirinya memberi rasa hormat tinggi atas keramahan dari masyarakat negeri ini. Hanya, kita sedang tidak mempunyai kepercayaan diri bahwa bangsa ini bisa menghasilkan individu berkualitas serta dapat mengelola sumberdaya alam secara mandiri. Inilah yang disebut virus inlander.
Virus inlander ini sudah menjangkit begitu akut dan berlaku untuk berbagai sektor penopang negara dan bagi seluruh lapisan masyarakat, mulai dari rakyat jelata sampai para bangsawan. Kita tahu bahwa sebenarnya pengelolaan dan pendapatan pertambangan sumberdaya mineral adalah hak sekaligus kewajiban Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Bung Karno sendiri punya pendirian yang sangat kuat, bahwa hasil bumi-negara ini harus dieksploitasi dan dikonsumsi oleh rakyat Indonesia sendiri. Inilah yang tidak dipahami oleh penerusnya dan akhirnya setelah Bung Karno wafat dibukalah lahan pertambangan dan pengelolaannya dikuasai berbagai perusahaan asing. Dan tentu, negara ini tidak begitu mendapat ‘cipratan’ hasil pertambangan ini. Mengapa harus Exxon Mobile yang menjadi operator pertambangan Blok Cepu yang nyatanya hanya mengeruk kekayaan Blok Cepu yang kekayaannya ditransfer ke Amerika Serikat, bukan Pertamina? Padahal Pertamina sempat menyatakan siap mengelola Blok Cepu. Dikuatkan lagi dengan pernyataan Ikatan Sarjana Geologi Indonesia yang menyatakan lebih mampu untuk mengelola Blok Cepu.
Indonesia sempat menerima rasa hormat yang begitu tinggi setelah mampu memproduksi pesawat terbang secara mandiri, yang digawangi oleh BJ Habibie. Habibie berkontribusi besar bagi berkembangnya industri pesawat terbang di Indonesia. Pesawat terbang Indonesia diakui kualitasnya sehingga banyak negara yang berkenan memesan pesawat buatan Indonesia. Waktu terus berjalan dan industri ini mulai melemah. Hegemoni akan hebatnya kualitas perusahaan pemroduksi pesawat indonesia seakan hilang berbarengan dengan dilupakannya sang arsitek. Sejarah kelam masa lalu membuat Habibie dilupakan, dan seakan perusahaan itu mati suri –atau mati untuk selamanya-. Lalu bangsa ini mulai menyangsikan, apakah kita bisa menghasilkan pesawat terbang dengan kualitas unggul lagi?
Lalu dalam bidang pemerintahan, pemerintahan kita selalu, dan akan terus selalu, mendapat rapor merah dimata masyarakat. Prestasi sebagian anggota DPR adalah miliknya sendiri, dan tindakan korupsi yang dilakukan satu orang adalah citra buruk bagi semua anggota DPR. Alhasil, menjadi anggota DPR seakan mempersiapkan diri berjalan menuju neraka. Niat tulus dan tekad kuat memajukan negeri ini dari sebagian anggotanya tertutupi oleh citra buruk yang digeneralkan, tak ada celah untuk meyakinkan bahwa masih banyak orang-orang yang tulus bekerja untuk rakyat. Sehingga ada yang menyeletuk, “Indonesia akan lebih baik jika tak ada pemerintah.”
Tiga hal diatas menjadi gambaran betapa tak ada celah bagi ‘harapan’ dan ‘kebangkitan’ untuk tumbuh subur di Indonesia. Virus inlander ini begitu menjamur dan mengakar kuat di hati masyarakatnya. Beberapa orang meyakinkan, “Masih ada harapan bagi negara ini untuk bangkit. Masih ada orang-orang hebat yang akan membawa negara ini menuju kejayaan dan kemakmuran.”
Orang yang terkena virus inlander akut menyeletuk, “Sudahlah, apa yang kau katakan ini sebatas omong kosong. Tak ada harapan lagi bagi negara ini untuk bangkit.” Para orang hebat di negeri ini pun mendengan celetukan pengidap virus inlander ini. Sebagian berusaha menunjukkan kapasitasnya dan pengabdian bagi negeri ini, sebagian lagi pergi ke negeri orang dan menjadi ‘pahlawan’ disana. Lalu media massa menambah masalah dengan memperkenalkan virus ini sehingga menyebar luas dan mengakar kuat. “Demi rating” begitu alasannya.
Dan apakah memang tidak ada harapan bagi negeri ini untuk bangkit? Tentu tidak. Kita hanya butuh obat penangkal virus inlander ini. Toh, Eropa tidak dibangun dengan berpangku tangan dan menunggu durian runtuh. Eropa di abad awal adalah wilayah yang dihuni orang-orang miskin dengan perkampungan kumuh dimana-mana, ditambah lagi kondisi alam yang tak begitu mendukung seakan-akan ingin membunuh mereka. Nyatanya, semangat untuk bangkit dan menjadi bangsa unggul-lah yang pada akhirnya menjadi pelecut mereka untuk berubah. Dan untuk Indonesia, wilayah yang pernah menikmati kejayaan, apakah kau mau menumbuhkan optimisme dan semangatmu lagi? []