Dalam sebuah organisasi, entah dalam lingkup kecil maupun organisasi besar semacam negara, rasa saling percaya dan kesetiaan antara pemimpin dan anggota organisasi merupakan satu hal yang sangat diidam-idamkan. Betapa tidak, keadaan seperti itu akan membuat rasa nyaman dalam menjalankan roda organisasi. Selain itu juga instruksi dari pemimpin akan senatiasa dipatuhi oleh anggotanya namun dengan diiringi koreksi.
Rasa setia kepada pemimpin ini sejatinya bisa dibagi kedalam dua kelompok besar yang bisa jadi saling bertolak-belakang. Kita tentu mengenal istilah ‘taklid’ dan ‘tsiqah’ dimana keduanya sama-sama berkolerasi dengan ketaatan atau kesetiaan kepada pemimpin. Efek yang ditimbulkan dari kedua jenis kesetiaan ini pun juga berbeda.
Taklid merupakan kesetiaan kepada pemimpin atas dasar kepercayaan tanpa pemahaman. Alasan yang mendasari suatu instruksi dari pemimpin menjadi hal yang tidak terlalu penting untuk dibahas. Selama hal tersebut datang dari pemimpin, maka semampu mungkin akan dijalankan. Sikap taklid ini biasanya muncul pada suatu kelompok yang mempunyai pemimpin kharismatik Orientasi kepercayaan ini memang cenderung berkonotasi negatif. Betapa tidak, ketika anggota organisasi, dalam lingkup negara kita menyebutnya rakyat, menjalankan suatu intruksi dan disertai pemahaman didalamnya, maka kecenderungan untuk ditolak dan mendapat hujatan pun juga semakin besar karenakan sang pengeksekusi itu tidak bisa memberikan pemahaman kepada khalayak. Kita ambil suatu cerita fiktif sebagai contoh:
“Terdapat suatu negeri yang makmur dan dipimpin oleh seorang Raja yang sangat cerdas dan mempunyai pegaruh besar bagi rakyatnya. Setiap kebijakan yang dikeluarkan sang Raja selalu ditaati dan dikerjakan rakyatnya dikarenakan selama ini setiap titah raja telah membuat kemajuan pesat dan pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan bagi kerajaan.
Pada suatu malam, raja bermimpi mendapat perintah dari Tuhan agar mempersembahkan setengah dari hasil panen pertanian dengan cara melemparkannya ke dalam kawah gunung berapi di dekat kerajaan. Dengan mempersembahkan hasil pertanian terebut, maka untuk musim-musim panen selanjutnya akan meningkat empat kali lipat. Raja sangat tertarik untuk melakukan apa yang didapati dalam mimpinya tersebut. Segera, sang raja mengumumkan kepada rakyatnya agar mempersembahkan setengah dari hasil panen pertanian, yang kebetulan beberapa hari lagi akan diadakan panen, kepada Tuhan.
Namun, seorang ahli cuaca dan iklim paling terkenal di kerajaan tersebut memperingatkan bahwa kemungkinan besar muslim panen berikutnya akan gagal karena adanya kemarau panjang. Dia menjelaskan secara rinci dan memberitahukan tanda-tanda alam yang sudah terjadi. Sang ahli ini meminta raja untuk mengurungkan niatnya dan lebih baik menyimpan sebagian hasil panen sebagai cadangan makanan untuk menghadapi muslim kemarau panjang nanti. Raja sempat bingung, namun akhirnya tetap melaksanakan apa yang diinginkannya. Akhirnya raja memberi perintah kepada rakyatnya untuk mengumpulkan dan mempersembahkan hasil panen. Sebagian rakyat negeri tersebut tidak terlaku menghiraukan apa yang disampaikan sang ahli cuaca karena lebih bercaya kepada apa yang disampaikan raja. Lalu, setengah dari hasi panen di kerajaan pu di buang ke kawah gunung.
Beberapa minggu kemudian, tanda-tanda musim kemarau yang kering pun muncul. Apa yang dikatakan oleh ahli cuaca benar-benar terjadi. Sebagian besar tanaman yang baru tumbuh pun tiba-tiba mati. Akhirnya terjadi gagal panen di muslim berikutnya dan rakyat kerajaan tersebut menghabiskan sebagian besar hartanya untuk pergi ke kerajaan lain sehingga kerajaan tersebut jatuh miskin.”
Tsiqah merupakan rasa percaya dan puas terhadap pemimpin yang karenanya akan menimbulkan rasa cinta, penghormatan, penghargaan, dan ketaatan kepada pemimpin. Mereka memahami bahwa pemimpin adalah salah satu unsur penting dari suatu kelompok. Ketaatan tersebut bukan hanya dibuktikan dengan mematuhi apa yang dinstruksikan oleh pemimpin, namun juga senantiasa mengingatka pemimpin jika terjadi penyelewengan atas dasar pemahaman.
Suatu ketika Hasan Al-Banna pernah ditanyai oleh seorang anggota Ikhwanul Muslimin.
“Wahai syaikh, jika suatu ketika keadaan memaksa kita untuk berpisah dan kami harus memilih pemimpin baru, bagaimana kriteria pemimpin yang harus kami pemilih?”
Hasan Al-Banna menjawab, “Angkatlah orang yang paling lemah diantara kalian sebagai pemimpin. Taatilah dia, berikan kepercayaan penuh kepadanya, dan ingatkan jika terjadi kesalahan. Niscaya dia akan menjadi orang yang paling kuat diantara kalian.”
Dari sini, kita akan memahami bahwa kesetiaan kepada pemimpin atas dasar tsiqah kedudukannya jauh lebih tinggi dari sekedar taklid, apalagi sampai menjurus taklid buta. Namun, tak selamanya taklid menjadi suatu hal yang negatif. Untuk orang yang memang benar-benar awam terhadap suatu permasalahan, maka taklid kepada pemimpin diperbolehkan dengan tetap berusaha memperoleh pemahaman. Dan mari kita renungkan bagaimana sikap kita kepada pemimpin ketika kita berada dalam suatu organisasi, apakah kita sudah mencoba untuk tsiqah atau malah kita sangat menikmati sikap taklid kepada pemimpin?
Wallahu a’lam. []