Trauma berhubungan dengan keadaan dan respon psikologis seseorang atas kejadian yang bersifat traumatik. Orang yang mengalami trauma biasanya akan terbelenggu oleh kejadian yang menimpa dirinya (bersifat traumatik) sehingga berpengaruh pada kehidupannya saat ini. Persepsi sendiri berkaitan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu obyek. Jika kedua kata ini digabungkan, kita akan mendapat istilah baru, trauma persepsi.
Devia Puspita Sari dalam artikelnya menyatakan bahwa trauma persepsi berarti gangguan psikologis yang dialami seseorang terhadap suatu hal yang kemudian membelenggu kehidupannya dan membawanya kepada mindset tidak bisa keluar dari belenggu tersebut sehingga kedepannya menghambat kehidupan mereka.
Selain menjangkit individu, trauma persepsi juga bisa mewabah dalam organisasi, termasuk juga dalam agenda dakwah kampus. Ahmad Atian dalam bukunya “Menuju Kemenangan Dakwah Kampus” menjelaskan tentang enam jenis trauma persepsi yang menjangkit dakwah kampus, yaitu sebagai berikut.
Trauma Persepsi: Merasa Superior
Berbagai keberhasilan dan kemenangan adalah salah satu senjata ampuh untuk memantapkan posisi dakwah kampus. Namun, dalam keadaan tertentu posisi dakwah kampus menjadi mengkhawatirkan akibat adanya perasaan superior yang menghinggapinya. Keadaan merasa superior –atau hebat- ini menyebabkan kita merasa cukup dengan apa yang ada, mengenyampingkan atau bahkan meninggalkan agenda yang seharusnya diselesaikan, atau terjebak pada suatu agenda yang menyesatkan.
Perasaan superioritas ini pula yang akhirnya membangun sekat antara kita sebagai aktivis dakwah kampus dengan para obyek dakwah sekitar kita. Superioritas selalu berujung sikap merasa sombong dan cukup, dan itulah yang membinasakan Fir’aun, Haman, Qarun, Namrud, dan lain sebagainya.
Trauma Persepsi: Harus Selalu Memimpin
Kepemimpinan umat memang menjadi salah satu senjata ampuh dalam upaya menegakkan dakwah kampus. Melalui kepemimpinan-lah segala kebijakan yang berhubungan dengan perbaikan umat akan dapat dijalankan serta dapatmeminimalisir gangguan dari luar. Namun, terjebak pada formalitas kepemimpinan akan mengantarkan kita pada bentuk lain trauma persepsi, yaitu merasa harus selalu memimpin. Bagaimanapun juga kepemimpinan membutuhkan kualifikasi tertentu yang mumpuni. Boleh jadi, suatu ketika ada ada sebuah golongan yang lebih layak untuk memegang kepemimpinan umat daripada kita.
Oleh karena itu, tak patutlah kita memfokuskan agenda dakwah pada sekedar formalitas kepemimpinan umat. Jauh lebih baik jika waktu dan tenaga kita habiskan untuk membentuk kepemimpinan ideal guna memimpin umat. Jangan sampai kita meghalalkan segala cara untuk memperoleh kepemimpinan sesaat.
Trauma Persepsi: Yang Benar Itu Hanya Kita
Salah dan khilaf adalah fitrah manusia. Maka, selalu saja jalan dakwah itu dibumbui kesalahan-kesalahan atau kekecewaan. Ketika kita merasa selalu benar dan berhak benar, ada banyak penyakit yang menjangkit dalam tubuh kita. Meremehkan, merendahkan, tidak mau menerima perbedaan, tidak bisa menghadapi masukan, dan tidak berkembang adalah beberapa penyakit diantaranya.
Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya pemikiran bahwa semua orang sedang bersekongkol untuk mennghancurkan kita dan jalan dakwah yang kita tempuh. Akibatnya, timbul pikiran negatif, tidak mau berkoalisi, dan ekslusifitas yang mengakar. Ujung-ujungnya, apa yang ada dipikiran kita tentang orang-orang lain diluar sana menjadi kenyataan. Mereka benar-benar bersekongkol untuk menghancurkan kita.
Ketika kita merasa besar, maka bisa jadi obyek dakwah mulai meninggalkan kita. Lalu kita akan merasakan kegersangan di jalan dakwah. Dan, bagaimana jalan dakwah ini akan berkembang jika tidak ada dinamisasi akibat sikap kita tidak pernah berusaha untuk terbuka?
Persepsi yang Salah: Ketika Kita Kalah, Maka Dakwah Kalah
Persepsi lain yang bersifat traumatik bagi aktivis dakwah kampus adalah menjadikan diri kita sebagai tolok ukur keberhasilan dakwah. Kita merasa bahwa yang berjuang dalam medan dakwah hanyalah kita, dan keberhasilan dakwah adalah keberhasilan kita. Paradigma seperti ini akan menimbulkan masalah bagi keberlangsungan dakwah manakala suatu ketika kita menghadapi ketidakberhasilan menyelesaikan persoalan, atau ketika kita tidak bisa mengambil kepemimpinan umat. Jadilah jalan dakwah itu menjadi lemah tak berarah.
Satu hal yang harus kita tanamkan dalam diri adalah bahwa diluar sana masih banyak orang yang berjuang layaknya kita. Perjuangan mereka sama dengan kita meskipun dalam wadah harakah yang berbeda. “Begitu banyak orang yang tidak bersama kita, tetapi hakikatnya mereka bersama kita. Begitu banyak pula orang yang bersama kita, tetapi hakikatnya tidaklah bersama kita.”
Satu hal lagi yang harus diingat, hati manusia itu mudah terbolak-balik, Allah lah yang menjaga hati manusia. Boleh jadi, mereka yang menentang kita hari ini suatu ketika akan menjadi pelindung dan penolong yang sangat setia. Ataupun sebaliknya, mereka yang bersama kita hari ini bisa saja menjadi musuh yang sangat mematikan suatu hari nanti. Maka, janganlah membatasi orbit dakwah dan membatasi keberhasilannya.
Trauma Persepsi: Senang Ber-Suudzan (Al-‘Uqdah Salbiyah)
Berpikir negatif tentang para qiyadah (pemimpin) kita, bahwa mereka punya kepentingan, bahwa mereka sudah keluar dari jalur yang semestinya, dan bahwa mereka berkhianat kepada kebenaran adalah masalah yang mesti secepatnya dihilangkan dari pikiran kita sebagai jundy (anggota). Begitu pula pikiran negatif dari qiyadah bahwa kreativitas jundy adalah bentuk pembangkangan, bahwa kritik mereka berarti kurangnya pemahaman, serta paradigma bahwa mereka hanya bisa melawan harus segera dihilangkan. Apalagi sampai timbul filosofi dari para qiyadah “Mengurusi yang taat saja susah apalagi harus mengurusi mereka yang bermasalah.”
Sinergitas antara qiyadah dan jundy maupun antar-jundy diperlukan untuk meminimalisir munculnya pikiran-pikiran negatif. Sinergitas itu dapat dimunculkan dalam bentuk upayatsiqah kepada qiyadah maupun rasa ikhlas dari qiyadah dalam memimpin.
“Jauhilah sebagian dari prasangka. Karena sebagian prasangka itu adalah dosa...” (Al-Hujurat[49]: 12)
Trauma Persepsi: Tidak Mau Kreatif (Al-‘Uqdah Attaba’iyya)
Matinya daya kreativitas adalah buah dari kemalasan yang mengakar. Mungkin saja, tenaga kita banyak terkuras untuk merebut kepemimpinan umat, bukan pada bagaimana memimpin dengan baik atau bagaimana memberikan yang terbaik tanpa harus memimpin. Dengan ataupun tanpa kepemimpinan, munculnya karya hasil proses dari dakwah kampus merupakan wujud dari kreativitas. Dan dari kreativitas ini, dakwah akan menjadi semakin dinamis.
Berbagai trauma persepsi ini dapat kita hilangkan dengan menumbuhkan empat pisau pemotong urat nadi trauma persepsi. Empat pisau pemotong tersebut adalah: keikhlasan, kesabaran, keberanian, dan kecerdasan. Dan berawal dari matinya trauma persepsi ini, maka dakwah kampus akan memperoleh kemenangannya. []