“Kenapa kamu pilih Pendidikan Fisika?”
“Kenapa kamu pilih kuliah di UM?”
Pertanyaan semacam ini paling banyak keluar ketika dulu aku berinteraksi dengan sesama mahasiswa baru (maba) di Fakultas MIPA UM pada saat ospek maupun di awal kuliah. Aku sendiri seringkali hanya menjawab sekadarnya. Begitu sebaliknya, aku jarang bertanya kepada teman-temanku ihwal alasan mereka mengambil prodinya di kampus UM. Toh, sekarang kami sudah resmi menjadi mahasiswa UM dan harus bersiap-siap serta fokus menjalani perkuliahan selama sekitar delapan semester di tempat yang telah kami pilih.
Mengamati mimik wajah mereka ketika melempar pertanyaan semacam ini, dan juga bagaimana cara mereka menjawab pertanyaan, aku jadi yakin bahwa sebagian –besarteman-temanku disini tak terlalu bangga dengan pilihan yang mereka ambil. Betapa tidak, banyak ku dengar keluh kesah dan kecewaan karena tidak diterima perguruan tinggi favorit mereka, yang akhirnya menjadikan kampus UM sebagai pilihannya. Bahkan ada yang bilang, “Daripada tidak kuliah!”
Harus kami sadari, UM bukanlah termasuk kampus favorit jika dibandingkan dengan banyak kampus di Indonesia. Namun jika kita membandingkan UM dengan kampus-kampus berlatar program keguruan dan kependidikan (eks IKIP), maka UM adalah salah satu kampus terbaiknya. Masalahnya, jarang kutemui orang-orang yang secara tulus dan bangga mengatakan bahwa impian terbesar mereka adalah menjadi guru.
Kampus UM sendiri dikenal sebagai kampus pendidikan yang notabenenya adalah penghasil calon-calon guru dan praktisi pendidikan, dikenal cukup luas oleh masyarakat (IKIP Malang yang merupakan nama UM terdahulu sangat terkenal). Aku menduga bahwa dari sekian banyak teman mabaku yang memilih Pendidikan Fisika, hanya segelintir yang benar-benar ingin menjadi seorang guru, apalagi guru fisika. Ini menjadi muara timbulnya keprihatinan dalam diriku.
Aku tak tak bisa membayangkan bagaimana mungkin pelajaran fisika bisa difavoritkan nantinya jika sejak awal guru-gurunya tidak tulus dalam menyiapka diri menjadi pendidik. Namun aku tetap percaya dengan apa yang disebut hidayah. Siapa tahu mereka yang awalnya asal-asalan memilih Pendidikan Fisika nantinya bisa mengajar jauh (dan sangat jauh) lebih baik dariku suatu hari nanti.
Tak ada mimpi besar yang kupikirkan di awal masa kuliah ini. Kau tahu, fisika! Jika ditanyai, aku akan sering mengatakan bahwa sebenarnya aku lebih antusias dengan Pendidikan Matematika. Jurusan yang gedungnya bersebelahan dengan gedung jurusanku. Namun begitu, sejak awal aku memang sangat antusias menjadi guru.
...
Jadi ceritanya, sejak SD sampai SMA aku selalu tertarik dengan pelajaran matematika. Kadang-kadang aku mendapat nilai tertinggi. Sayangnya aku tak pernah ikut olimpiade matematika atau perlombaan serupa waktu SD dan SMP karena sekolah tak pernah mengirim delegasi. Waktu SMA aku pernah ikut OSN tingkat Kabupaten sekali dan mendapat peringkat tertinggi dari seluruh delegasi dari sekolahku.
Namun segalanya berubah sejak negara api menyerang pada masa-masa SMA. Waktu kelas X, semua masih terasa normal seperti masa-masa SMP dulu. Beberapa kali aku mendapat nilai tinggi sehingga guruku memberi hadiah selusin bolpoin saat akhir semester. Keadaan berubah drastis sejak kelas XI, saat guru matematika kami berganti.
Guru yang mengajar kami sewaktu kelas XI dan XII adalah guru senior yang sangat berpengalaman. Beliau sangat enerjik dan seringkali memberi hukuman pada murid yang tak bisa mengerjakan soal yang diberikan, tapi seringkali kami terhibur dengan berbagai hukuman yang diberikan. Beliau adalah tipe guru kiler yang tak pernah membuat kelas terasa membosankan.
Beliau membuka les matematika di rumahnya. Banyak dari temanku belajar di sana. Karena adanya les itulah beliau sangat dekat dengan anak-anak yang ikut les, dan .... ternyata waktu les itu pula mereka sering diberikan kisi-kisi ujian bab yang akan dilakukan. Sebagai anak yang tidak ikut les itu, aku beberapakali diberitahu dan diajak untuk untuk mengerjakan soal kisi-kisi yang memang muncul saat ujian. Terkadang hal yang seperti itu membuatku merasa proses belajarku menjelang ujian banyak yang mubazir.
Entah mengapa hal yang seperti itu akhirnya membuatkan tak setertarik dulu dalam mengikuti pelajaran matematika. Di sisi lain, celakanya, sejak kelas XI itu teman-temanku mengira aku adalah anak yang pandai di bidang fisika. Awal ceritanya adalah ketika ujian bab pertama di kelas XI, aku mendapat nilai tertinggi. Masalahnya –dan ternyata- memang tak ada satupun di kelasku yang berminat pada pelajaran fisika. Sejak saat itu aku sering diajak diskusi soalsoal fisika, dan ini jadi motivasi bagiku untuk lebih belajar fisika, lebih giat daripada belajar matematika.
....
Ternyata jarangnya anak yang menyukai pejaran fisika menjadi berkah tersendiri bagiku. Aku beberapa kali mendapat nilai tertinggi, meskipun sebenarnya tak terlalu tinggi. Mungkin kalau dirata-rata, nilai yang kudapat untuk tiap ujian bab fisika sekitar 60-70. Masalahnya, teman-temanku banyak yang dapat nilai rendah, seringkali sangat rendah. Karena guru kami harus mendongkrak nilai mereka agar memenuhi KKM di raport, maka secara otomatis nilaiku juga terdongkrak. Terasa menakjubkan, karena nilai fisikaku di rapor untuk kelas XI dan XII selalu tertulis diatas 90.
Waktu seleksi penerimaan mahasiwa baru jalur SNMPTN undangan, aku beruntung menjadi salah satu anak yang memenuhi syarat untuk ikut seleksinya. Bahkan saat itu hanya ada 2 anak laki-laki yang bisa ikut seleksi. Awalnya, aku mantap untuk menjadikan Pendidikan Matematika di pilihan pertama dan Pendidikan Fisika di urutan kedua. Namun disela kesibukan menyiapkan kelengkapan administrasi untuk mendaftar, aku dipanggil Guru BK kami. Beliau menyarankan agar aku memilih Pendidikan Fisika di urutan pertama. Alasan pertama karena nilai fisika di raporku tinggi. Alasan kedua karena ternyata banyak dari kami yang memiliki Pendidikan Matematika di urutan pertama sehingga peluang untuk diterima bagi setiap anak sangat kecil.
Aku tak membutuhkan waktu lama untuk merubah urutan pilihanku itu, Pendidikan Fisika kutempatkan di urutan pertama. Alasan pertama karena seleksi ini menekankan pada prestasi, sedangkan prestasi yang kumiliki tak banyak. Kedua, aku sebenarnya juga sudah menyiapkan diri untuk ikut SBMPTN Ujian Tulis. Secara umum, aku tak yakin bisa lolos seleksi jalur undangan ini. Namun sejak awal aku memang sudah memantapkan diri untuk menjadi calon guru.
Singkat cerita, ternyata dua orang (dan hanya dua orang) yang mendaftar Pendidikan Fisika UM dinyatakan diterima dan sebagian besar (atau mungkin semua) yang mendaftar Pendidikan Matematika UM tidak diterima. Mau tak mau, dan suka tak suka, aku harus mengambil kesempatan ini karena aku juga diterima dengan beasiswa.
Setelahnya, ada dilema yang mendera. Padahal aku baru dua tahun mulai menikmati pelajaran ini, berbeda dengan matematika yang sudah kusukai sejak SD. Apa yang kutakutkan pun terlihat saat kuliah. Aku sering mendapat nilai tinggi untuk kuliah kalkulus dan fisika-matematika, tapi nilai fisika dasar-ku biasa saja.
Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai menikmati bidang ilmu ini. Sangat menikmati! Entah kenapa, kejadian serupa waktu pertama dulu aku menyukai fisika terjadi lagi waktu aku kuliah. Tapi ini berbeda. Teman-temanku mendapati aku memperoleh nilai tinggi dalam kalkulus, bahkan pernah menjadi yang tertinggi. Dengan itu, mereka menyimpulkan kalau aku juga menguasai fisika dasar atau lanjutan. Karenanya beberapa kali mereka mengajak belajar bersama atau memintaku menjelaskannya. Sekali lagi, hal yang seperti ini kemudian memberi motivasi (lagi) untuk belajar lebih giat. []