Seorang teman pada forum besar tahunan suatu organisasi menyeletuk dihadapan khalayak, “Kalian ini adalah para aktivis, aktivis dakwah. Keberadaan kalian di kampus, di organisasi-organisasi kampus adalah untuk dakwah. Itu artinya, kalian bukan hanya seorang event organizer!”
------------------------------------------------------------
Tak semua orang bisa memaknai secara mendalam tiga rangkaian kata penuh makna ini, ‘aktivis dakwah kampus’. Aktivis dakwah kampus (ADK) sendiri biasa diartikan sebagai orang-orang yang secara sadar mendedikasikan dirinya untuk dakwah, melalui organisasi-organisasi kampus yang digeluti. Kita tidak - dan tak akan pernah- membatasi ranah ‘dakwah kampus’ hanya pada lembaga dakwah kampus (LDK) formal yang ada. Lebih dari itu, dakwah kampus mencangkup seluruh ranah yang ada di lingkungan kampus, sehingga para aktivis dakwah kampus adalah juga mereka yang berada pada organisasi pemerintahan mahasiswa dan lembaga keilmuan mahasiswa.
Ketika dalam diri seseorang tersemat label aktivis dakwah kampus, maka yang harus ia pahami adalah bahwa ia berpegang pada satu ideologi (Islam) dan akan memegang erat saat ia beraktivitas di kampus. Ideologi Islam akan membuat para punggawa LDK menerapkan berbagai strategi agar semua mahasiswa, mulai dari yang ammah sampai yang sudah memahami Islam dengan baik, mendapat proporsi pembinaan agama yang baik. Ideologi Islam ini juga yang membuat aktivis dakwah kampus di OPM mencoba mencegah berbagai kegiatan yang merusak moral terselenggara di kampus. Dan seperti itu pula bagi mereka yang aktif di lembaga keilmuan, ideologi Islam akan membuatnya bergairah dalam melakukan penelitian-penelitian yang bermanfaat untuk kebanyakan orang.
Bagi mereka yang tak bisa memaknai pengertian ini dengan baik, mereka akan terjebak dalam formalitas struktural organisasi. Indikasinya adalah pengukuran keberhasilan yang terbatas pada keberhasilan kegiatan. Ya, keadaan yang seperti ini akan membuat seorang aktivis dakwah kampus malah dikendalikan organisasi, dimana orientasinya adalah bagaimana ia bisa mensukseskan semua agenda organisasi selama satu periode kepengurusan, bukan bagaimana agar ia bisa memberikan pengaruh ideologinya. Akibatnya, keberadaannya di suatu organisasi tak memberikan perubahan berarti pada keadaan organisasi tersebut, kecuali pada keberhasilan kegiatan. Inilah yang kadang disinggung sebagai 'event organizer'.
Seorang teman yang menjabat sebagai ketua BEM salah satu fakulas di kampus UB pernah bercerita, “saat menjadi ketua BEMFA, saya sering berdiskusi dengan petinggi dekanat. Dari sana, saya menanamkan beberapa pemikiran, yang mana saya tahu bahwa pemikiran itu akan sangat berguna dikemudian hari. Salah satu dampak positifnya adalah banyak kegiatan mahasiswa di fakultas kami yang cenderung tak bermanfaat atau malah menjerumuskan mahasiswa, ditolak oleh dekanat. Inilah cara dakwah kami.”
Memang, dakwah tak menuntut perubahan pada obyek dakwah kita. Namun, yang perlu kita renungkan adalah, ‘apakah keberadaan kita di kampus, khususnya di lembaga mahasiswa, sudah membawa misi dakwah?’. Jangan sampai ideologi Islam yang kita bawa hanya berupa pemikiran atau gagasan yang hanya mendekam di pikiran kita, tanpa tahu apa yang harus kita perbuat terhadapnya. []