Islam pernah melahirkan tokoh-tokoh inspiratif yang berpengaruh terhadap kemajuan Islam sehingga bisa menjadi pemimpin dunia. Sebagian dari para tokoh penting kemajuan Islam adalah para pemuda yang bukan hanya mempunyai semangat juang tinggi, namun mempunyai pemahaman Islam yang kuat sehingga mempunyai aqidah mantap. Beberapa diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Muhammad Al-Fatih, dan Usamah bin Zaid. Ali bin Abi Thalib adalah pemuda pertama yang masuk Islam. Dialah orang yang senantiasa mendampingi dan melindungi Rasulullah. Hingga, pembuktian akan kecintaan kepada Rasulullah terlihat amat nyata ketika ia menggantikan Rasulullah di tempat tidur beliau sesaat sebelum Hijrah. Selanjutnya Ali mempunyai pengaruh amat besar bagi perkembangan Islam.
Kisah Muhammad Al-Fatih juga begitu masyhur. Dalam usia 21 tahun, beliau sudah menjadi panglima perang pasukan muslim untuk meruntuhkan salah satu imperium yang telah berdiri kokoh selama 11 abad, Byzantium. Ada juga Usamah bin Zaid. Pemuda yang saat berumur 18 tahun sudah mendapat kepercayaan Rasulullah, yang dilanjutkan Abu Bakar Ash-Shidiq, memimpin pasukan muslim menghadapi salah satu kekuatan terbesar saat itu untuk membebaskan bumi Syam, Romawi. Dan Usamah membuktikan bahwa Ia benar-benar orang yang tepat menggenggam amanah itu, bumi Syam dapat dibebaskan dari Romawi.Ali bin Abi Thalib, Muhammad Al-Fatih, dan Usamah bin Zaid adalah pemuda-pemuda yang mampu menginspirasi orang-orang disekitarnya.
Ketiga pemuda Islam ini mempunyai beberapa kesamaan. Pertama, mereka mempunyai pemahaman yang baik tentang Islam dan menjadikannya menjadi pedoman hidupnya. Kedua, rasa cinta terhadap Islam dan kemauan untuk menyebarkan dakwah Islam sangat tinggi. Ini dibuktikan dengan peran ketiganya dalam peperangan-peperangan dalam rangka memerangi musuh Allah dan memperluas wilayah dakwah. Dan yang harus diingat, mereka telah mengikuti perang sejak usia sangat muda. Lahirnya pemuda-pemuda seperti inilah yang menjadi harapan umat Islam saat ini, disaat maraknya kemerosotan moral umat dan mulai ditinggalkannya syari’at Islam.
Pemuda dalam Al-Qur’an
Islam menempatkan pada pemuda dalam posisi yang amat penting. Hal ini bisa kita cermati dari kisah pemuda dalam Al-Qur’an, kisah para sahabat Rasulullah, serta pengakuan dari ulama besar Islam. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang pemuda. Dari berbagai kisah dan penjelasan tersebut, dapatlah kita pahami bahwa Al-Qur’an selalu menempatkan pemuda pada makna yang positif. Misalkan apa yang difirmankan Allah dalam surat Ar-Rum berikut,
“Dialah Allah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.”
-- (Ar-Rum [30]: 54)
Kita bisa mengetahui maksud ayat ini. Masa keadaan lemah manusia yang pertama adalah ketika masih kecil, lalu menjadi kuat ketika muda dan dewasa, dan selanjutnya menjadi lemah kembali ketika sudah tua dan beruban. Allah ingin menunjukkan bahwa pemuda mempunyai kekuatan, dan pemuda merupakan kekuatan diantara dua kelemahan. Dan dari kekuatan yang dimiliki itu, ada harapan besar bahwa peradaban Islam bisa bangkit kembali seperti pada masa jayanya.
Kisah selanjutnya tentang pemuda dalam A-Qur’an terdapat dalam surat Al-Khafi. Alkisah, terdapat beberapa pemuda yang hidup di suatu masa dimana pemimpinnya adalah orang yang dzalim. Para pemuda tersebut menentang kedzaliman sang pemimpin hingga melarikan diri dari tempat asalnya. Akhirnya mereka masuk ke dalam sebuah gua dan menetap disana. Allah menidurkan para pemuda Ashabul Kahfi dalam gua selama selama 300 ditambah 9 tahun. Mereka bangun tatkala kepemimpinan umat telah jatuh pada orang yang beriman. Allah memuji mereka karena keteguhan aqidahnya. Dalam surat Al-Khafi disebutkan,
“… Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka”
-- (Al-Kahfi [18]: 13)
Ada tiga kata kunci yang bisa kita temukan dalam ayat ini, yaitu: pemuda, iman, dan petunjuk. Kata ‘fityah’ secara bahasa berarti pemuda (jamak) dan kata tunggalnya adalah ‘fatah’. Dalam struktur bahasa arab kata ini meunjukkan usia yang masih belia, lebih muda dari pengertian pemuda ‘Asyabab”. Ini menunjukkan bahwa mereka adalah pemuda belia yang mempunyai kekuatan iman besar karena mendapat petunjuk dari Allah. Allah ingin memuliakan pemuda melalui ayat ini.
Pemuda di Masa Kini
Pemuda hari ini mulai menjauh dari nilai-nilai ke-Islam-an. Pergeseran tolok ukur, dari al-Qur’an dan Al-Hadits, menjadi berbagai pemahaman yang bersumber dari pemikiran manusiawi, telah meracuni sebagian besar muslim. Pemahaman Barat yang mengedepankan syahwat telah merasuk dalam pikiran mereka dan menggerakkan jasmaninya untuk melakukan kemunkaran. Akhirnya, ada toleransi yang cukup besar untuk menurunkan kualitas ibadah dan pencarian ilmu keagamaan. Hal ini semakin berbahaya karena sasaran utamanya adalah pemuda, individu yang sedang mencari jati diri dan sedang membangun karakter. Gejala ini telah mewabah kesemua kalangan imat Islam yang ada di dunia. Hasilnya, tidak ada kepercayaan diri bagi umat Islam untuk bangkit dan menjadi pemimpin dunia. Umat Islam menjadi bangsa kelas dua.
Mereka yang sejak usia dini sudah mempelajari Islam serta berinteraksi dengan Al-Qur’an mulai mundur teratur dalam mempelajarinya ketika menginjak dewasa. Al-Qur’an dianggap sudah tidak relevan lagi, karena tolok ukur yang mereka gunakan adalah paham hedonism. Sesuatu yang halal menjadi haram, begitupun sebaliknya. Paham materialistik yang bersumber dari akal pikiran manusia telah merasuk dalam pikiran mereka, sehingga menistakan wahyu yang datang dari Allah adalah suatu hal yang bisaa. Hingga akhirnya, umat Islam menjadi terpuruk disebabkan kekuatan penopangnya, para pemuda, telah kehilangan arah.
Ustadz Budi Ashari dalam beberapa ceramahnya menyatakan,
“Peradaban Islam akan bangkit kembali jika masjid-masjid dan majelis ilmu dipenuhi oleh Pemuda”
Beliau sangat menyadari betapa pentingnya peran pemuda bagi kemajuan Islam, yang sangat sulit kita temukan pada jaman yang mendekati akhir ini. Kesadaran ini bukan hanya menjadi milik pemuda yang bersangkutan, namun juga orang tua sang pemuda dan masyarakat secara umum. Orangtua adalah guru pertama bagi mereka. Apa yang menjadi pemahaman dan sikap pemuda sebagian besar ditentukan oleh bagaimana dan apa yang diajarkan oleh orang tua. Oleh karena itu, tak layak jika terlalu mengandalkan kemampuan pemuda untuk mencari jati diri. Selain itu, toleransi yang amat tinggi dari masyarakat kepada anak-anak untuk mempelajari Islam juga berdampak buruk bagi kemauan untuk mempelajari Islam ketika dewasa.
Masyarakat harus menempatkan pemuda pada posisi yang tepat. Pemuda harus mendapat akses yang luas untuk ikut seta dalam membangun lingkungannya. Inilah yang sulit didapatkan pemuda hari ini. Paradigma yang berkembang dimasyarakat kita adalah bahwa pemuda merupakan kaum yang harus banyak belajar dan harus banyak menurut kepada orang yang lebih tua. Dengan berkembangnya paradigma semacam ini, maka sangat sulit dan sempit bagi pemuda untuk mengutarakan gagasan dan kinerjanya. Pemuda tersebut tidak terbisaa memikirkan permasalahan umat dan mencari solusinya, hingga akhirnya yang muncul adalah sikap apatis dan kritik tajam tanpa solusi.
Bukan sekedar menghafal
Ada sebagian dari orang tua, dan pemuda itu sendiri, sudah paham betul bahwa berpegang pada Islam lah yang akan menyelamatkan mereka kelak. Sehingga, para pemuda ini, dengan mandiri atau melalui dorongan dari orang tua serta orang lainnya, berkenan untuk mempelajari Islam. Sayangnya, beberapa diantara mereka sudah puas dengan sebatas menghafal Al-Qur’an. “Menghafal Al-Qur’an secara lengkap 30 juz adalah sebuah tujuan, dan ketika itu sudah tercapai maka kewajiban untuk mempelajarinya telah gugur” begitulah yang terlintas di benak sebagian kalangan, meskipun mereka tidak menyetujuinya secara langsung. Jadilah pemuda penghafal Al-Qur’an itu sebagai seorang yang punya ingatan tajam lalu terus mengasah, lalu memilih memanfaatkan kemampuan hafalannya itu untuk mengikuti berbagai ajang perlombaan, bukan memahaminya sebagai sarana dakwah untuk umat. Sebagian lagi mempunyai kesadaran yang cukup besar, sehingga hafalan adalah sarana untuk memahami dan menerapkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an.
Generasi terdahulu tidak menjadikan hafalan Al-Qur’an sebagai tujuan. Justru hafalan adalah modal besar yang digunakan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi. Muhammad Al-Fatih tumbuh dalam didikan Al-Qur’an sejak kecil. Sang ayah, Sultan Murad II, paham bahwa Al-Qur’an adalah pedoman dasar dalam Islam untuk menjalankan segala aktivitas. Untuk itula beliau yang saat itu menjadi Khalifah daulah Utsmani meminta beberapa ulama besar untuk memberi bimbingan Islam kepada Muhammad kecil.
Dalam bimbingan Syaikh Ahmad bin Ismail Al-Kurani, Muhammad II mulai mempelajari dan menghafal Al-Qur’an. Setelah menghafal Al-Qur’an dalam usia delapan tahun, Muhammad II mendapat bimbingan keilmuan yang lebih mendalam dari Syaikh Aaq Syamsuddin. Muhammad II naik tahta sebagai khalifah saat menginjak usia yang masih sangat belia, 19 tahun, lalu beliau melancarkan misi besar untuk menakhlukan Konstantinopel. Misinya dapat tercapai di usia 21 tahun, pada usia yang cukup muda bagi seorang panglima besar dan khalifah daulah Utsmani. Atas penakhlukan Konstantinopel, dunia memberi penghormatan yang besar bagi Muhammad sang penakhluk.
Dalam masa kejayaan Islam, banyak ilmuwan muslim lahir dalam berbagai disiplin Ilmu. Karya-karya para ilmuwan muslim ini mendapat pengakuan luas dan menjadi rujukan para ilmuan dunia, termasuk ilmuan Barat. Salah satu ilmuan muslim paling mashyur di dunia adalah Ibnu Sina (Avicena). Ada juga Ibnu Rusyd dan Jabir Ibnu Hayyan. Ibnu Sina telah menghafal Al-Qur’an saat berusia delapan tahun. Inilah yang dijadikan bagi beliau untuk menekuni berbagai bidang keahlian: Kedokteran, Fisika, dan Filsafat. Beliau juga mampu menghasilkan karya buku sebanyak kurang lebih 450 buah dan menjadi rujukan ilmuwan lain. Jabir Ibnu Hayyan juga telah menghafal Al-Qur’an sejak kecil. Pada masa keemasannya beliau banyak menghasilkan karya hingga disebut sebagai bapak kimia dunia. Beliau juga menguasai banyak bidang keilmuan, termasuk didalamnya fisika dan filsafat.
Para ilmuan ini tidak sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai bidang yang digeluti. Al-Qur’an menjadi pedoman dalam hidup mereka. Mereka telah menghafal Al-Qur’an sejak usia dini. Dari hafalan dan pemahaman ini, mereka mengembangkan ilmu pengetahuan. Dan hasilnya, mereka menjadi ilmuwan produktif serta menguasai berbagai ilmu pengetahuan . Banyak karya yang telah dihasilkan dan inilah yang semakin membuat mereka bertambah keimanannya.
Hasan Al-Banna dijuluki sebagai tokoh muslim paling berpengaruh dalam sejarah Islam modern. Beliau menggagas berdirinya Ikhwanul Muslimin saat berusia 22 tahun. Dari Ikhwanul Muslimin inilah banyak lahir tokoh-tokoh besar penggerak kebangkitan Islam modern sampai saat ini. Berkat beliau, masyarakat Islam mulai mengenali jati dirinya dan melakukan perlawanan terhadap kekejaman Barat. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa beliau telah menghafal dan mulai mengkaji Al-Qur’an saat berusia 12 tahun.
Para tokoh ini menjadikan hafalan Al-Qur’an sebagai modal untuk menapaki tingkat selanjutnya. Dan memang seperti itu lah langah yang harus ditempuh. Pemuda Islam harus mengetahui bahwa ada beberapa tingkat yang harus ditempuh untuk bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Menghafal adalah dasar atau modal yang sangat penting. Setelah itu dia harus memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an secara rinci melalui pemahaman tafsir. Selanjutnya, ia harus mengkaji kandungan Al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Setelah itu, ia akan bisa mencapai tingkatan tertinggi. Menghasilkan karya dengan menjadikan merujuk kepada Al-Qur’an. Hal seperti inilah yang membuat seorang ilmuwan muslim semakin tebal imannya setelah menghasilkan penemuan-penemuan baru.
Kebangkitan Islam di Tangan Pemuda
Hasan Al-Banna mengungkapkan betapa pentingnya peran pemuda bagi perjuangan kebangkitan Islam. Beliau mengungkapkan bahwa pemuda adalah pilar kebangkitan yang mempunyai tanggung jawab, kewajiban, dan amanah untuk membina umat. Untuk mengemban tugas itu, beliau juga menyatakan apa saja yang harus dimiliki seorang pemuda, beberapa diantaranya adalah: pemikiran panjang, banyak beramal, bijak dalam menentukan sikap, maju untuk menjadi penyelamat, dan mampu menunaikan hak-hak umat. Modal dasar yang harus dimiliki pemuda, menurut beliau, adalah: iman, ikhlas, semangat, dan amal kebajikan. Dengan pemenuhan semua modal ini, serta dukungan penuh segala lapisan masyarakat, beliau yakin bahwa kebangkitan Islam akan terjadi dengan pemuda sebagai pelaku utamanya.
Berdasarkan fakta yang ada saat ini, dan dengan memahami kisah pemuda Islam dimasa lampau, maka kita akan mengetahui betapa besar potensi yang dimiliki pemuda untuk membuka kembali jalan bagi jayanya agama Islam. Kemenangan Islam harus kita jemput dengan menempatkan pemuda pada posisi yang tepat sehingga ia bisa menunjukkan kekuatannya. Tentu saja pemuda tersebut mempunyai aqidah kuat yang melandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai pedoman hidup. Pemuda dan Al-Qur’an harus menjadi satu kesatuan. Maka, “Kembalikanlah pemuda kepada Al-Qur’an, maka ia akan mengembalikan Islam kepada kejayaannya.” []
Referensi:
Abdurrahman, M. Yusuf. 2013. Cara-cara Belajar Ilmuwan-ilmuwan Muslim Pencetus Sains-Sains Canggih Modern. Jogjakarta: DIVA Press.
Al-Banna, Hasan. 2012 (Cetakan ke 12). Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1. Solo; ERA INTERMEDIA.
Al-Ghudban, Syaikh Munir Muhammad. Manhaj Haraki: Strategi Pergerakan dan Perjuangan Politik dalam sirah nabi saw
Al-Jauziyah, Imam Ibnu Qayyim. Kelengkapan Tarikh Rasulullah.
Al-Quranul Karim.
Ashari, Budi. Pemuda,antara Hijaz & Amerika. Kajian Masjid Al-Ghifari Malang. [https://www.youtube.com/watch?v=dVClUTrH75o]
Siauw, Felix Y. 2014. Muhammad Al-Fatih 1453. Jakarta: Al-Fatih Press.
Keterangan: Esai ini dilombakan pada IEPEC SKI FK UNS dan mendapat peringkat 5.