Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menjadi salah satu organisasi mahasiswa (ormawa) yang perannya paling berpengaruh bagi mahasiswa secara keseluruhan. Sesuai namanya, BEM merupakan organisasi yang berfokus pada kegiatan eksekutif, dalam artian langsung berhubungan dan menjangkau mahasiswa. Berbeda hal nya dengan DPM yang lebih condong berperan dalam pembentukan kebijakan, pembahasan seputar undang-undang, serta pengawasan kinerja badan eksekutif.
Boleh dikatakan, dinamika politik kampus di Universitas Negeri Malang (UM) belum begitu baik. Hal ini dikarenakan ada salah satu peristiwa yang sempat mencoreng nama UM, yaitu adanya vacuum of power di tubuh BEM UM pada periode 2014-2015. Akibatnya, sikap apatis terhadap politik kampus dari mahasiswa UM mulai mencuat. Saat ini, banyak mahasiswa UM yang ‘sudah terbiasa’ menjalani aktivitas kampus tanpa ada kepemimpinan dari BEM. Inilah yang menjadi tantangan besar bagi pengurus BEM UM periode 2015-2016, bagaimana menghilangkan rasa apatis tersebut dan menggantinya dengan kepercayaan secara penuh. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk seluruh mahasiswa UM.
Ahmad Rofiuddin dan Athoillah Sholahuddin adalah pasangan Presiden Mahasiswa (Presma) dan Wakil Presiden Mahasiswa (Wapresma) terpilih pada pemilu raya BEM UM yang dilaksanakan awal tahun 2015 silam. Pasangan ini mengusung jargon ‘UM Bersatu’ yang dijabarkan dalam visi mereka, yaitu, “Mewujudkan BEM UM sebagai wadah pemersatu dan penyalur bakat untuk mempersiapkan insan mahasiswa yang akademis inspiratif dan profesional yang berguna bagi bangsa dan negara”. Dengan visi ini, pasangan Rofiuddin-Athok ingin ‘merebut perhatian’ mahasiswa UM.
Setahun sudah berlalu, dan banyak program yang telah digulirkan demi mewujudkan visi yang dijabarkan dengan misi yang mereka di awal kampanye. Pertanyaan yang kini mencuat adalah, apakah kepemimpinan yang telah mereka jalankan sudah sesuai dengan ekspektasi mereka dan ekspektasi warga UM secara keseluruhan?
Untuk menjawab pertanyaan semacam ini tentu diperlukan analisis yang mendalam sehingga diketahui kesimpulan yang dapat diberikan sebagai penilaian terhadap kinerja BEM UM selama satu tahun periode kepengurusan ini. Oleh karena itu, ijinkanlah saya membuat analisis pribadi sebagai bentuk refleksi kepemimpinan BEM UM periode 2015-2016 ini. Sekali lagi saya katakan, ini adalah analisis pribadi, dimana saya memakai sudut pandang saya sebagai mahasiswa UM untuk membuat analisis tersebut.
Pertama, saya tuliskan misi dari Rofiuddin-Athok sebagai pedoman dalam melakukan evaluasi kinerja BEM UM. Misi Rofiuddin-Athok adalah: (1) Mewujudkan kepengurusan BEM UM yang profesional, inspiratif dan bertanggungjawab; (2) Menjalin koordinasi ke semua elemen di UM yang sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing; (3) Meningkatkan kualitas dan peran BEM UM dalam kancah regional maupun nasional; dan (4) berperan serta dalam implementasi Tri Perguruan Tinggi. Salah satu program unggulan dari BEM UM adalah Bina Desa, yang telah diumbar sejak awal kampanye.
Saya akan jabarkan bagaimana kepemimpinan BEM UM selama satu tahun ini, berdasarkan realita yang ada di lapangan dari sudut pandang saya sebagai mahasiswa biasa UM. Di awal terpilihnya Roriuddin-Athok, mereka mendapat kritikan dari beberapa pihak terkait proses rekrutmen anggota BEM UM. Pasalnya, pembukaan rekrutmen baru dilakukan sekitar sebulan setelah mereka terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden BEM UM. Selain itu, ada kesan terburu-buru dalam proses rekrutmen dan pelantikan pengurus baru.
Pengumuman anggota BEM UM terpilih hanya berselisih satu hari dengan pelantikan atau peresmian pengurus baru ormawa sehingga banyak staf baru BEM UM yang tidak dapat hadir dalam pelantikan. Selanjutnya, tidak adanya gebrakan baru yang di tawarkan di awal kepengurusan membuat BEM UM terkesan ‘adem ayem’, masih sangat tenang selama beberapa bulan awal. Program andalan mereka pun, desa binaan, belum bisa diterapkan d awal kepengurusan. Hal yang patut disayangkan, BEM UM tidak bisa memberikan sentuhan emas nya diawal. Hal ini menyulut kekhawatiran dari beberapa pihak terkait rasa apatisme politik kampus mahasiswa UM yang akan terus berlanjut.
Dengan adanya sembilan kementerian dibawah naungan kabinet ‘UM Bersatu’, beberapa program diluncurkan BEM UM sebagai bentuk realisasi visi-misi mereka. Diantaranya adalah Festival Budaya Mahasiswa Nasional, Seminar Beasiswa Internasional, dan tentunya program unggulan mereka, Bina Desa. Ini merupakan program-program yang lahir seara murni dari pengurus periode ini. Namun, nampaknya dari beberapa program yang dilaksanakan, belum begitu bisa memberikan pengaruh signifikan bagi mahasiswa secara umum. Ini terlihat dari kurangnya program yang dapat menaungi aspirasi serta bakat-minat mahasiswa. Contohnya adalah lemahnya advokasi terhadap mahasiswa UM yang mempunyai masalah terkait perkuliahan.
Bukti nyatanya adalah ketika penerimaan mahasiswa baru, banyak mahasiswa calon mahasiswa yang merasa ‘tercekik’ dengan melangitnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Beberapa diantara dari mahasiswa tersebut bahkan sampai harus mengundurkan diri dan melepas status sebagai mahasiswa UM. Tidak turun tangannya BEM UM dalam permasalahan semacam ini kemungkinan berpengaruh besar pada pandangan terhadap BEM UM.
Terkait profesionalisme dari kinerja BEM UM, saya rasa tumpulnya tajih BEM UM di awal kepengurusan dengan lambannya rekrutmen dan penyusunan serta pelaksanaan program kerja menjadi salah satu poin kelemahan mereka. Selain itu, sepertinya BEM UM juga tak terlalu bersahabat dengan BEM se-Malang Raya maupun BEM se-Indonesia dalam naungan BEM SI (Seluruh Indonesia). Ini terjadi lantaran BEM UM terlihat berjalan sendirian dalam beberapa kesempatan, terutama dalam hal unjuk rasa dan penentuan sikap atas berbagai masalah yang muncul baik di tingkat regional maupun nasional. .
Satu hal yang membuat saya salut adalah kemauan BEM UM untuk menghidupkan kembali nuansa politik kampus di UM. Dalam usaha ini, tentu hal yang harus di perhatikan adalah jangan sampai BEM UM hanya menjadi event organizer, dan inilah yang nampak agak jelas di kepengurusan periode ini. Oleh karenanya, BEM UM harus memandang dari sudut pandang mahasiswa ketika membuat dan menjalankan suatu program sehingga dapat menyelaraskan aspirasi atau ekspektasi mahasia UM dengan program yang dirancang BEM UM.
Kedepan, saya berharap ada gebrakan-gebrakan baru dari BEM UM di periode kepengurusan selanjutnya. Bukan hanya kegiatan-kegiatan besar berskala nasional maupun internasional, namun juga program-program yang mampu mengakomodir kepentingan mahasiswa UM secara keseluruhan. Karena, BEM UM adalah kepanjangan tangan dari mahasiswa yang bertujuan untuk menerjemahkan aspirasi mahasiswa dalam bentuk aksi nyata. Namun sebelum melangkah sejauh itu, sepertinya BEM UM harus mencari formula khusus untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa apatisme mahasiswa UM terhadap politik kampus. Hidup Mahasiswa! []