Turki sudah dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi sifat ksatria sejak dahulu kala. Kaum Turki adalah penunggang kuda alami dan hidup di alam terbuka. Cara hidupnya yang nomanden berkelompok telah menjadikan Turki sebagai suku dengan ketahanan hidup yang tinggi.
Suku Turk berasal dari dataran luas yang membentang antara Laut Hitam sampai dataran tinggi Mongol dan Cina Timur yang didominasi padang rumput dan stepa. Mereka hidup berpindah-pindah, penuh pergerakan dan mengkultuskan serta menyembah roh-roh melalui perantara para Shaman. Mereka hidup dengan cara menyerang kelompok tetangganya untuk mendapatkan harta rampasan perang atau daerah yang lebih subur, oleh karena itu Turki menjadi suatu suku yang mandiri, cepat, kuat dan ahli dalam urusan perang dan penyerbuan dengan kuda dan panahnya.
Dengan semua karakteristik yang melekat pada bangsa Turki ini, Rasulullah pun pernah berpesan kepada para sahabat agar jangan sampai memulai peperangan dengan bangsa Turki.
“Nabi SAW pernah menyebut daerah yang disebut dengan Al-Bashrah, disampingnya terdapat sungai dinamakan Dajlah (Tigris) dan memiliki banyak pohon kurma. Bani Qanthura’ (Turki) menempatinya lalu terpecahlah orang-orang itu menjadi tiga golongan. Satu kelompok mengikuti asal mereka hingga mereka binasa, satu kelompok adalah mengikuti hawa nafsu mereka hingga mereka menjadi kafir dan kelompok lainnya meninggalkan keluarga mereka lalu mereka berperang. Orang-orang yang meninggal diantara mereka adalah adalah para syuhada. Allah ta’ala memenangkan diri mereka yang tersisa.” (HR. Ahmad)
Pada pertengahan abad keenam, kaum Turki melakukan migrasi besar-besaran dari tanah asal mereka menuju wilyah barat dikarenakan oleh tekanan politik dari sepupu mereka kaum Mongol yang sedang melakukan invasi dan juga kemarau panjang yang melanda negeri mereka. Di antara mereka ada yang bermigrasi ke Utara dan berpindah menjadi Kristen, adapun suku Turki yang paling besar yaitu, bani Oghuz, mereka bermigrasi melewati wilayah Persia yan saat itu takhluk ditangan kaum Muslim.
Tercatat dalam sejarah, bahwa bani Oghuz adalah kabilah Turki pertama yang menerima Islam pada masa Utsman bin Affan. Pasukan Turki yang kuat ini pun memainkan peranan penting dalam pembebasan-pembebasan di Asia Tengah. Kaum Turki sudah sangat puas mengabdi pada Islam melalui kekuatan yang mereka miliki.
Peran Bangsa Turki terhadap Daulah Islam
Bangsa Turki mengabdikan dirinya pada Islam sebagai pasukan perang. Perannya sangat terasa terutama ketika pasukan Islam berperang untuk memperluas wilayah kekuasaan dan menjaga keutuhan daulah Islam. Peranan kaum Turki pada khilafah meningkat pada masa khilafah Abbasiyah, ketika khalifah Mu’tashim ingin mengurangi pengaruh pasukan Persia yang mulai menentangnya dan mengangkat kaum Turki sebagai pimpinan-pimpinan pasukan serta mendirikan kota Samarra sebagai basis pemerintahannya dengan kaum Turki mendominasi pasukan. Khalifah memberi wewenang kepada bangsa Turki untuk mendirikan kesultanan Saljuk yang menjadi perpanjangan tangan dari Abbasiyah.
Peran kaum Turki menjadi lebih terasa tatkala khilafah Abbasiyah mendapat tantangan dari kaum Syi’ah yang mendirikan khilafah tandingan Fatimiyyah yang bersekutu dengan Byzantium. Untuk menstabilkan wilayahnya, khalifah Al-Qa’im bi Amrillah meminta pada kaum Turki untuk memadamkan setiap gejolak yang terjadi. Tughril Bey, salah satu bangsawan bani oghuz pemimpin kesultanan Saljuk, atas perintah khalifah lalu memimpin kaum Turki untuk untuk menghancurkan perlawanan bani buwaihi yang beraliran syi’ah pada 1055. Kemenangan ini menyelamatkan Khalifah Abbasiyah dari kehancuran akibat rongrongan dari kaum Syi’ah. Inilah awal dari peran kesultanan Saljuk dalam Islam.
Sepeninggalan Tughril Bey, Sultan Saljuk berikutnya dijabat Muhammad yang bergelar Alp Arslan. Pada masanya, kesultanan Saljuk semakin memantapkan wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaan khalifah. Kekuasaan Fatimiyyah di Mesir, Aleppo, Yerusalem dan Ramalah dipangkasnya. Sultan Alp Arslan yang mempunyai pasukannya ke Georgia dan Armeniadan memancangkan panji Islam di tanah-tanah kekuasaan Byzantium.
Hal ini membuat kaisar Byzantium, Romanus IV Diogenes murka, ia segera mengumpulkan pasukan gabungan Eropa yang berjumlah 200.000 untuk menghentikan gerakan pasukan Alp Arslan yang mempunyai pasukan hanya 20.000. Kedua pasukan bertemu di Manzikert pada 26 Agustus 1071. Setelah bersujud dan berdo’a pada Allah Azza wa Jalla, peperangan dilaksanakan tepat setelah shalat jum’at sesuai nasehat para ulama. Atas pertolongan Allah, Alp Arslan berhasil memorakporandakan pasukan Byzantium. Setengah pasukan Byzantium lari, sedangkan setengahnya menemui ajal di pedang atau tombak kaum Muslim. Kaisar Romanus sendiri ditahan dan diserahkan kepada Alp Arslan. Alp Arslan sendiri membebaskan Kaisar Romanus dengan hormat dan memulangkannya dengan diiringi beberapa orang pasukan Saljuk. Beberapa waktu berikutnya, kesultanan Saljuk dapat mengambil alih wilayah Anatolia (wilayah Turki saat ini) dari Byzantium dan menjadikannya sebagai ibukota kesultanan Saljuk.
Tradisi Ksatria Bangsa Turki
Kaum Turki sendiri tidak berniat mengambil alih kekuasaan, mereka dilahirkan dalam tradisi ksatria dan puas mengambil posisi sebagai ksatria pembela khilafah Islam, “The Protector of the Caliph”. Mereka bersumpah setia pada khalifah sebagai suatu pasukan khusus yang mereka menyebutnya sebagai ghazi. Dalam kebudayaan Turki, ghazi menjadi gelar dan kebanggaan seorang laki-laki Muslim, bisa disamakan suatu kaum, yang juga menandakan identitas mereka sebagai “warrior of faith”. Para ghazi ini kemudian ditempatkan dan dikoordinasi oleh kesultanan Saljuk dierbatasan wilayah Khilafah dengan Byzantium di Anatolia. Mereka selalu berhadap-hadapan dengan para akritai, bangsawan yang ditempatkan oleh Byzantium untuk menjaga perbatasan.
Berbeda dengan akritai yang tidak mempunyai etika ksatria, para ghazi hidup dengan menaati prinsip keksatriaan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat awalnya, yaitu Al-Futuwwa. Prinsip inilah yang membuat kepemimpinan mereka lebih disukai daripada kepemimpinan Byzantium sehingga banyak masyarakat kristen Anatolia memilih berada dibawah Khilafahdibandingkan dibawah Byzantium. Hal inilah yang membuat wilayah Khilafa meluas secara signifikan dalam tempo yang sangat singkat. Hal ini pula, penyebab utama Paus Urban II menyerukan “Perang Salib” kepada seluruh Kaum Kristen Barat (Latin Catholic).
Awal Berdirinya Daulah Turki Utsmani
Abad 13 adalah abad yang penuh dengan kekacauan bagi kaum muslim. Tragedi dimulai ketika pada tahun 1206, Temujin yang digelari Gengis Khan menyatukan bangsa Mongol dan meluaskan wilayahnya kearah barat. Pada suatu titik, kekuatan Mongol yang dipimpin oleh Gengis Khan beradu dengan kesultanan Saljuk dan kali ini Bani Saljuk mendapatkan lawan kuat yang awalnya memang berasal dari tradisi yang sama. Sedikit demi sedikit kekuasaan Saljuk dan khilafah dapat digerogoti oleh Mongol. Puncaknya adalah jatuhnya Baghdad pada 1258 di tangan Hulagu Khan.
Pada tahun yang sama, lahir pula Utsman bin Ertughrul, yang kelak dikenal sebagai peletak dasar bani Utsmaniyah. Kakeknya termaasuk salah satu pengungsi dari Asia Tengah ketika terjadi invasi Mongol. Sama seperti ayahnya, Utsman terlahir dengan kecerdikan dan keluwesan dalam memimpin. Dalam tempo singkat, ia berhasil menyatukan kabilah-kabilah Turki yang terpecah belah dan menggunakannya sebagai kekuatan untuk menghadang kekuatan Byzantium di barat ataupun ancaman dari Mongolia di sebelah timur.
Seiring dengan redupnya pamor kesultanan Saljuk dan diengah kekacauan yang terjadi pada kaum muslim, mereka menanti sosok ksatria heroik. Pada saat itulah, Utsman berhasil membuktikan pada khalayak bahwa ia adalah pewaris kesultanan Saljuk, seorang Ghazi yang sejati. Pada 1302, ia mengalahkan pasukan Byzantium di dekat Nicaea dan setelah itu lebih banyak lagi kaum Turki di Anatolia yang mendukungnya, mereka menjuluki Utsman “Sultan para Ghazi”.
Mendapatkan dukungan dari sebagian besar kaum Turki, Utsman lalu mengukuhkan kesultanan Utsmani yang telah dirintisnya sejak 1299 dengan dirinya sebagai sultan pertama. Visi kesultanan baru ini sangat jelas, dalam masyarakat Turki dikenal dengan nama “Impian Utsman”, yaitu pembebasan Konstantinopel.
Utsman melakukan ekspansi lebih dalam lagi ke wilayah Byzantium dan mengepung wilayah Bursa yang baru takhluk pada masa penerusnya Orhan pada 1326 dan menjadikannya ibukota Kesultanan Utsmani. Tidak kalah gesit dibandingkan ayahnya, Orhan pun bergerak seakan tanpa istirahat melakukan ibadah tertinggi berjihad di jalan Allah dan Tuhan semesta alam pun menjawabnya. Pada 1329, Orhan mengalahkan pasukan kaisar Byzantium Andronikos III di Pelekanos, lalu merebut Nicaea pada 1331, Nicomedia pada 1337 dan Scutari pada 1338. Semangat Orhan dalam jihad, dikenang oleh Ibnu Batutta ketika mengunjungi Orhan pada 1331.
Dalam perkembangan selanjutnya, Turki Utsmani menjadi suatu daulah yang besar dan dapat bertahan hingga abad 20, tepatnya pada tahun 1924. Salah satu khalifah paling hebat yang dimiliki Turki Utsmani adalah sultan Mehmed II (Muhammad II) yang bergelar Al-Fatih. Pada masa Muhammad Al-Fatih lah umat Islam dapat menakhlukan Konstantinopel, suatu wilayah yang memiliki pertahanan terkuat saat itu dan menjadi kota paling makmur di dunia, dimana bisyarah tentang ini telah disampaikan Rasulullah jauh sebelumnya.
Bangsa Turki dan Islam Kontemporer
Bangsa Turki memainkan peran penting dalam perkembangan dan kemajuan Islam. Hal itu terutama terjadi ketika daulah Turki Utsmani dapat bertahan dan menjadi pemimpin dunia selama kurang lebih 7 abad. Sayangnya peran itu perlahan sirna semenjak adanya Perang Dunia I dimana Turki Utsmani berada pada pihak yang kalah perang. Hal itu pula yang menjadi sebab hancurnya Turki Utsmani dan berdirinya negara sekuler Turki dibawah pimpinan Musthofa Kemal Attaturk.
Dalam perkembangannya, Turki muncul kembali di era kontemporer ini sebagai kekuatan Islam yang tak terbendung. Adalah Erdogan sebagai pemimpin Turki saat ini yang menjadi sebab munculnya kembali kekuatan Turki sebagai penopang kekuatan Islam. Kedepannya, bukan tidak mungkin Turki akan menjadi pemimpin negara-negara Islam di dunia dalam upaya membangkitkan lagi kejayaan Islam. []