Situasi di Syam sedang genting. Pasukan muslim sedang kuwalahan menghadapi pasukan salib Romawi dalam perebutan Al-Quds. Maka, khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq pun mengutus Khalid bin Walid untuk membantu pasukan di Syam. Khalid dan pasukkannya yang saat itu baru selesai menjalankan tugas penakhlukkan wilayah Persia langsung berangkat ke Syam. Satu taklimat lain yang disampaikan Abu Bakar adalah menjadikan Khalid sebagai pimpinan tertinggi pasukan mslim, sebagai panglima perang selama di Syam.
Khalid dikenal sebagai panglima perang yang tangguh dan tak pernah terkalahkan dalam setiap perang yang diikutinya. Strategi perang yang diterapkannya pun sangat jitu untuk melemahkan lawan-lawannya. Setelah mendapat taklimat sebagai panglima perang, dalam perjalanan ke Syam Khalid mulai merancang strateginya. Akhirnya, muncullah ide untuk mengepung Syam dari beberapa arah untuk membatasi ruang gerak pasukan Salib, meskipun pasukan yang dibawanya tak terlalu banyak.
Umar bin Khattab yang saat itu menjadi penasehat Abu Bakar melihat ada sesuatu yang membahayakan dari strategi yang diterapkan Khalid, meminta Abu Bakar mengirim surat ke Khalid untuk merubah strategi yang diterapkan. Abu Bakar menolaknya. Beliau meyakini apa yang dilakukan Khalid adalah yang terbaik sehingga tetap memberi wewenang penuh kepada Khalid untuk menyusun strategi perang. Dalam perkembangan selanjutnya, Abu Bakar dan Umar sering bersitegang dalam urusan pergerakan pasukan muslim di Syam yang dipimpin Khalid. Khalid tetap menjadi pimpinan tertinggi pasukan muslim di Syam.
Selang beberapa waktu, Abu Bakar wafat dan posisinya sebagai khalifah digantikan Umar. Salah satu kebijakan yang diterapkan sang Amirul Mukminin di awal pemerintahannya adalah menganti Khalid dengan Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai pimpinan pasukan muslim di Syam. Khalid pun berubah status menjadi pasukan biasa yang tak punya wewenang untuk mengatur strategi perang. Ini merupakan dilema yang sangat mendalam bagi Khalid. Betapa tidak, seseorang yang sudah terbiasa menjadi pimpinan pasukan perang, gemar membuat siasat perang yang jitu, dan tak pernah kalah di setiap perang yang diikuti seketika harus berubah status menjadi prajurit biasa ditengah semangat yang begitu membara untuk menakhlukan pasukan salib.
Khalid bisa menerima keputusan Amirul Mukminin dengan sifat ksatria. Buktinya, Khalid tetap berada dalam jajaran pasukan muslim tanpa berniat sedikitpun untuk membangkang atau memberontak. Suatu ketika, ada seorang pasukan yang mendatangi Khalid dan bertanya bagaimana perasaanya menerima keputusan Amirul Mukminin yang bertipikal keras sama sepertinya. Khalid memberikan jawaban,
“Aku ini berperang untuk Allah, bukan untuk Umar.”
Khalid pun tetap setia bersama pasukan muslim sebagai prajurit biasa. Namun Khalid tetaplah Khalid, betapapun statusnya kini telah jatuh namun strategi perang yang dimiliki masih diperlukan Abu Ubaidah yang dijuluki ‘Orang kepercayaan umat ini’ untuk menyusun kekuatan pasukan muslim. []
More From Author
Catatan