Tersebutlah suatu kisah, ada sebuah negeri yang sangat kaya akan hasil bumi dan maju dalam hal perniagaan. Tak ada yang bisa menandingi kekayaan mereka. Pertahanan negeri mereka pun termasuk yang terbaik.
Sayangnya, ada satu tabiat buruk dari penduduk negeri ini. Mereka sudah terbiasa bersaing satu sama lain untuk menjadi yang paling kaya. Betapa tidak, siapapun pasti tergiur untuk mendapat kekayaan yang besar jika menilik besarnya potensi sumberdaya alam yang dimiliki. Sang Raja pun juga mendukung persaingan rakyatnya untuk menjadi yang paling kaya. Baginya, itu merupakan salah satu indikator kemakmuran.
Suatu ketika, negeri tersebut dilanda kemarau panjang hingga produksi hasil bumi pun menurun drastis. Akibatnya, rakyat negeri tersebut mengandalkan simpanan makanan yang cukup hanya untuk satu minggu. Sialnya, negeri tetangga yang selama menunjukkan sikap ramah dan bersahabat seketika itu berubah menjadi beringas dan bernafsu menguasai negeri itu. Pasukan istana pun ketar-ketir menghadapi pasukan musuh yang sudah terlanjur berkeinginan kuat menguasai negeri mereka.
===
“Lapor Baginda Raja, pasukan musuh berhasil memukul mundur pasukan kita sampai perbatasan.” Seorang utusan yang diperintah jendral perang negeri itu menyampaikan pesan kepada Raja. Sang Raja nampak terkejut, namun tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sang utusan melanjutkan, “Ada kabar buruk lagi Baginda Raja. Persediaan makanan untuk pasukan kita semakin menipis dan hampir habis. Suplai makanan juga berhenti sejak dua hari lalu.”
Kali ini sang Raja bereaksi, namun ia hanya berdiri dan masih terdiam.
“Jika keadaan ini terus berlanjut, maka pasukan kita akan kalah dan musuh merangsek masuk dan menguasai negeri kita.” sang utusan mengakhiri laporannya. Diwajah sang raja, nampak raut wajah yang bercampur aduk. Bingung, takut, dan marah.
Sang Raja menatap wajah seorang menterinya dengan tatapan yang dalam.
“Berikan pengumuman kepada seluruh rakyat kita, setiap rumah harus menyumbangkan seperempat dari persediaan pangannya untuk membantu pasukan perang di perbatasan. Bagi yang menolak, akan diambil secara paksa.” perintah sang Raja kepada seorang menterinya.
“Baik Baginda Raja, akan segera kami laksanakan.” sang menteri pun bergegas melaksanakan tugas yang diberikan sang raja.
Berita ini pun menyebar dengan begitu cepat dan istana pun telah menyiapkan kereta kuda untuk mengangkut bahan makanan keesoka harinya.
===
“Kita tidak mungkin memberikan seperempat dari persediaan makanan kita, kita hanya punya bahan makanan yang cukup untuk 4 hari.” terjadi satu percakapan yang cukup emosional di salah satu bilik rumah.
“Tapi ini perintah raja, dan pilihan kita hanya dua, memberikan seperempat persediaan makanan atau persediaan kita diambil paksa seluruhnya.” timpal sang istri menanggapi keluhan sang suami.
Dulunya, keluarga ini cukup kaya dengan penghasilan yang cukup besar dari hasil dagang bahan pangan. Namun usaha mereka bangkrut semenjak kemarau panjang menghantam yang tak tahu kapan berakhirnya.
“Baiklah.” sang suami memecah keheningan sesaat. “Kita masukkan batu-batuan kedalam kantong dan kita berika kepada mereka. Tak ada yang tahu bahwa itu dari kita dan itu tak begitu berpengaruh karena hanya kita yang melakukan.”
Sang istri mengangguk setuju dengan pernyataan suaminya.
Keesokan harinya, suami-isteri ini benar-benar memasukkan batu-batuan ke dalam kantung gelap dan memikulnya dengan santai. Ketika kereta kuda yang mengangkut makanan lewat di depan rumahnya, mereka pun langsung memasukkan kantung tersebut kedalam kereta. Tak ada rasa takut yang terlintas di wajah mereka dan tak ada rasa curiga dari petugas pengangkut makanan. Karena bahan makanan itu harus segera dikirim ke perbatasan untuk membantu pasukan perang, maka pengecekan makanan tidak dilakukan dengan teliti.
===
Selang beberapa hari setelah penyuplaian bahan makanan untuk pasukan perang, seorang utusan Paglima perang datang menghadap raja dengan gontai dan tergesah-gesah. Wajahnya nampak ketakutan.
“Lapor Baginda Raja.” Ia mencoba mengumpulkan tenaga mengucapkan sesuatu.
“Bahan makanan yang dikirim untuk pasukan kita kemarin...” Ia agak terbatah mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.
“Ternyata...” ia mencoba menghela nafas panjang dan mengumpulkan tenaga.
“Ternyata hampir semuanya berisi batu dan hanya sedikit yang berisi bahan makanan.” Tak ada reaksi apapun yang dikeluarkan sang raja. Namun nampak di wajahnya rasa terkejut yang amat sangat.
“Pasukan kita menjadi lemah dan musuh dapat menguasai perbatasan dengan mudah. Saat ini mereka terus merangsek masuk ke pusat kota. Mereka dapat membunuh dengan mudah siapapun yang menghalangi mereka. Nasib negeri kita sedang diujung tanduk.”
Tak ada tanggapan yang muncul dari sang Raja. Sang Raja pun menundukkan pandangannya. Suasana terasa begitu hening dalam beberapa saat. Menteri-menteri raja pun tak berani mengeluarkan sepatah kata pun.
“Ini semua salahku.” suara sang Raja yang teramat pelan memecah keheningan.
“Ini bukan salahmu Baginda Raja. Ini salah rakyat kita yang tidak mau membantu pasukan kita. Mereka terlalu egois dengan keadaan ini.” seorang menterinya langsung menyeletuk, bereaksi dengan apa yang dikatakan sang raja. Sang Raja memberi isyarat tangan agar sang menteri menghentikan apa yang dikatakan.
“Ini salahku. Aku membiarkan rakyatku untuk bersaing satu sama lain menjadi yang terbaik, menjadi yang paling kaya. Aku tak memberi kesempatan bagi mereka untuk saling menolong dan peduli terhadap sesama. Aku tak membiarkan mereka untuk belajar menjadi bagian dari masyarakat. Semua keadaan ini terjadi karena sikap kepemimpinanku yang seperti ini, yang hanya tergiur oleh kekayaan dan kemewahan. Hanya menilai kemakmuran rakyatku dari kekayaan yang miliki” sang Raja mengarahkan pandangannya keseluruh manusia yang ada di dalam istana.
“Sekarang negeri ini telah tamat. Ini adalah pelajaran berharga bagi kita, bahwa kemakmuran suatu negeri tidak bisa diukur lewat kekayaan yang dimiliki saja. Keberhasilanku menjadikan seluruh penduduk di negeri ini kaya tak sebanding dengan kegagalanku membina kepribadian rakyatku. Mulai saat ini, aku nyatakan bahwa kekuasaan kita atas negeri ini telah berakhir.” sang Raja melepaskan mahkota yang melingkar dikepalanya, menaruhnya di meja dekat tempat ia duduk. Ia pun segera duduk dan menunduk dengan amat dalam.
Beberapa saat kemudian, pasukan musuh sudah berada di ruang utama istana, di depan sang Raja. Tak ada perlawanan berarti yang bisa diberikan. Semenjak saat itu, semua pun berubah. []