Siapa yang tak kenal dengan pemuda Kahfi? Kisah mereka begitu harum dan nyaring di telinga kita, serta memberikan pelajaran akan keteguhan dalam mempertahankan keyakinannya. Kisah ini pun termaktum dalam Al-Qur’an dan juga kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. Mereka adalah pemuda istimewa, yang dapat mempertahankan keyakinanya akan Allah diatas kedzaliman seorang raja yang tak segan membunuh siapapun yang tak mau menuhankannya dan menyembah berhala. Al-Qur’an pun mencatat, mereka adalah pemuda dengan sebutan ‘Al-Fityah’ dimana hal tersebut menandakan usia yang lebih muda daripada pemuda dengan istilah ‘Asy-syabab’.
---
Alkisah, terdapat sebuah negeri di kawasan Romawi yang menjadikan Tauhid sebagai agamanya dan Allah subhanallahu wa ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan. Negeri yang beribukota di Aphesus itu mempunyai Raja yang mencintai dan dicintai rakyatnya.
Seiring berjalannya waktu, sang raja pun meninggal dunia. Berita kematian sang Raja didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia merupakan seorang kafir yang amat congkak dan dzalim. Dengan angkuh ia datang menyerbu negeri itu lewat kekuatan pasukannya dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus, lalu menjadikannya sebagai ibukota kerajaan. Setelah Diqyanius berkuasa, dibangunlah sebuah Istana megah nan harum baunya.
Diqyanius mendapati penduduk negeri itu adalah orang-orang yang bertaqwa, lalu ia membuat suatu kebijakan bahwa seluruh penduduk harus menyembah berhala sebagai Tuhan. Lambat laun, ia merasa dirinya laiknya sebagai Tuhan. Diqyanius pun mengumumkan barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, maka akan diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh karena itu lah semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja rakyatnya. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah.
Tak ada yang berani menentang sang Raja, hingga hampir keseluruhan penduduk negeri tersebut melakukan setiap apa yang diperintahkan sang raja. Mereka menggadaikan Tauhid agar tetap bisa bertahan hidup.
---
Allah memberikan kejernihan pikiran kepada seorang pemuda hingga meneguhkannya diatas agamanya. Tamlikha, begitu pemuda tersebut dipanggil, berpikir bahwa apa yang diperintahkan dan dikatakan sang raja tidaklah masuk akal. Sang Raja berkata bahwa ia adalah jelmaan Tuhan, namun Tamlikha yakin bahwa sang Raja tak bisa menyangga langit dan bumi serta mengatur alam semestanya sebagaimana semestinya dilakukan Tuhan. Ia pun berpegang teguh dengan agamanya yang menjadikan Allah satu-satunya sesembahan.
Pemikiran ini Tamlikha sampaikan kepada lima orang temannya - Miksalmina, Mikhaslimina, Martelius, Casitius dan Sidemius dan mengajak mereka untuk tetap menyembah Allah. Ternyata, kelima temannya ini pun setuju dengan pemikiran Tamlikha dan bersepakat untuk berpegang teguh dengan agamanya. Lalu salah seorang bertanya kepada Thamlika, “Apa yang harus kita perbuat?” Jawab Tamlikha, “Kita harus meninggalkan negeri ini.” Teman-temannya pun sama bersepakat dengan yang disampaikan Tamlikha.
Tamlikha lalu berdiri, beranjak pergi ke pasar untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham untuk bekal perjalanan. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Ia pun berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya. Setelah sampai jarak yang agak jauh, mereka pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Diqyanius mendapati kabar akan enam pemuda tadi yang tak mau menaati perintahnya. Ia pun meminta pengawalnya memanggil mereka untuk menghadap dan memberikan hukuman kepada mereka. Namun, mereka mendapati bahwa keenam pemuda tersebut telah meninggalkan kota.
---
Keenam pemuda tersebut terus menjauh dari kerajaan hingga kaki mereka bengkak dan berdarah karena tak kuat lagi. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan seorang penggembala yang menyambut mereka. Sang penggembala melihat wajah kusut dan takut dari wajah keenam pemuda tersebut. Ia pun bertanya, “Ada apa gerangan?” Awalnya, mereka tak mau bercerita apapun dan hanya menanyakan apakah sang penggembala mempunyai air susu gembalaan untuk diminum. Namun akhirnya, mereka pun bercerita apa yang telah terjadi setelah sang pengembala menebak bahwa mereka sedang melarikan diri dari sesuatu.
“Kami sedang melarikan diri dari Diqyanius karena mempertahankan agama kami. Kami tak mau menuhankan ia dan menyembah berhala seperti yang ia minta.” Keenam pemuda tersebut juga menjelaskan alasan rasional dibalik keputusan itu.
“Kalau begitu, tunggulah disini dulu.” Sang pengembala kambing pun menggiring gembalaannya menuju rumah pemiliknya. Setelah itu, ia segera kembali menemui keenam pemuda tadi. Ia tak sendirian, melainkan membawa seekor anjing miliknya.
“Aku rasa bisa menerima apa yang kalian jelaskan tadi. Aku berada di pihak kalian dan akan ikut bersama kalian.” Tamlikha pun senang dengan keinginan sang pengembala. Namun, ia tak memperbolehkan sang anjing ikut bersama.
Setelah berbincang beberapa lama, akhirnya keenam pemuda ini memperbolehkan sang pengembala membawa anjingnya. Kelak, anjing yang membersamai tujuh orang pemuda ini lah yang menjadi satu-satunya anjing yang boleh memasuki surga.
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit di kaki gunung. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua. Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram. Mereka pun menetap di gua tersebut. Tetiba, tumbuhlah pohon-pohon berbuah lebat dan air mancur yang deras di depan gua. Mereka makan buah-buahan yang dihasilkan pohon tersebut dan minum dari air yang memancur. Setelah waktu malam tiba, mereka masuk ke dalam gua untuk berlindung dan beristirahat. Anjing yang ikut bersama mereka pun berjaga-jaga di pintu gua.
Allah menunjukkan kuasanya atas ketujuh pemuda tersebut. Allah memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawa mereka. Kemudian, Allah mewakilkan dua malaikat untuk membalikkan tubuh mereka semua dari kanan ke kiri. Selanjutnya, matahari dibuat agar saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, supaya tatkala akan terbenam dapat memancarkan sinar dari arah kiri.
---
Diqyanius mendapati kabar bahwa keenam pemuda yang ia cari berhasil melarikan diri. Ia pun menjadi sangat gusar dan menyiapkan 80.000 pasukan berkuda untuk memburu mereka. Diqyanius ikut bersama pasukan berangkat menelusuri jejak enam orang orang pemuda yang melarikan diri. Ia dan pasukannya naik keatas bukit dan mendekati gua tempat tujuh orang pemuda dan anjingnya berada. Ia melihat enam orang yang ia cari itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Diqyanius dapat memastikan bahwa mereka semua sedang tertidur.
Diqyanius memerintahkan agar pasukannya memanggil tukang-tukang batu untuk menutup pintu gua dengan batu-batuan dan jish (sejenis semen). Dengan pongahnya Diqyanius menantang pemuda yang sedari tadi terlihat tertidur untuk meminta bantuan kepada Tuhannya jika mereka benar. Ia berharap pemuda-pemuda itu mati dalam keadaan kelaparan di dalam gua.
---
Setelah waktu berjalan selama tiga ratus sembilan tahun, Allah pun mengembalikan nyawa ketujuh pemuda yang berada di gua. Keadaan gua pun sudah terbuka dan sinar matahari dapat masuk menyinari seisi gua. Pada suatu pagi, para pemuda ini pun bangun dari tidurnya dan merasa seakan-akan baru bangun dari tidur semalaman.
“Tadi malam kami lupa beribada kepada Allah, mari kita mencari mata air”, ujar salah seorang kepada yang lain.
Ketika mereka sudah keluar dari gua, mereka terkejut mendapati bahwa sumber mata air dan pepohonan yang sebelumnya mereka manfaatkan sudah menjadi kering. Mereka pun merasa lapar.
“Siapakah diantara kalian yang bersedia ke kota membawa uang untuk mendapatkan makanan?” Mereka saling bertanya. “Siapapun yang ke kota nanti, harus berhati-hati agar tidak membeli makanan yang dimasak dengan minyak babi.”
Tamlikha pun bersedia ke kota untuk membeli makanan. Ia pun meminta pemuda pengembala untuk melepas pakaiannya dan menukar dengan pakaian yang ia kenakan, agar tak dicurigai penduduk negeri itu.
Dalam perjalanannya menuju kota, Tamlikha merasa asing dengan tempat-tempat yang ia lalui untuk menuju kota. Ia yakin bahwa jalan yang ia la lalui adalah benar, namun keadaannya beda dari biasanya. Di depan pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau yang bertuliskan ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Ruh Allah.”
“Ku kira aku masih tidur”, ucapnya setelah mengusap matanya, tanda tak percaya dengan apa yang ia lihat. Setelah agak lama mengamati bendera tersebut, ia pun meneruskan perjalanannya untuk mencari makanan. Tamlikha merasa asing dengan orang yang berlalu-lalang di dalam kota. Begitu pula dengan keadaannya.
Ia pun menemukan seorang penjual roti dan bertanya keadaan negeri tersebut. Kota tersebut bernama Aphesus dan rajanya bernama Abdurrahman, begitu jawaban yang ia dapatkan. Tamlikha diam sejenak, merasa aneh.
“Kalau begitu, berikan lah aku roti dan ambillah uang ini”, Tamlikha menyodorkan uang yang ia bawa. Sang penjual roti menerima uang yang disodorkan padanya. Agak kaget, sang penjual roti mengamati begitu detail uang tersebut.
“Darimana kau dapatkan harta karun ini?” tanya penjual roti tiba-tiba. “Apa maksudmu? Ini uang biasa yang dipakai di negeri ini.”
“Dari mana kau dapatkan harta karun ini? Sungguh, ini adalah uang yang dipakai 300 tahun lalu”, tanya sang penjual roti memburu jawaban. Masih keheranan, Tamlikha pun menceritakan bahwa uang itu ia dapatkan tiga hari lalu setelah menjual kurma. Sang penjual roti merasa Tamlikha banyak berkilah dan bercerita hal yang aneh, terutama tentang seorang raja dzalim bernama Diqyanius. Akhirnya, ia dan beberapa orang melaporkan hal ini kepada sang raja.
“Orang ini membawa harta karun” lapor para penduduk setelah berada di hadapan sang Raja.Sang Raja mengamati pemuda tersebut lalu berkata, “"Engkau tak perlu takut! Nabi Isa memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat."
“Baginda, aku sama sekali tak menemukan harta karun. Aku adalah penduduk kota ini” kilah Tamlikha.
“Kau penduduk kota ini?” tanya sang Raja.
“Ya!” jawab Tamlikha.
Sang Raja meminta Tamlikha menyebutkan nama-nama orang yang ia kenal di kota tersebut. Ia menyebutkan tak kurang dari seribu nama, namun khalayak yang ada di tempat itu tak ada yang kenal dengan nama-nama yang telah disebutkan. Sang Raja pun menanyakan apakah ia mempunyai rumah di kota ini. Tamlikha mengiyakan.
“Kalau begitu tunjukkan dimana rumahmu!” sang Raja meminta.
Akhirnya, Tamlikha disertai beberapa orang utusan menuju salah satu sudut kota untuk mencari rumah Tamlikha. Mereka pun sampai di depan sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. “Ini rumahku”, kata Tamlikha sambil menunjuk rumah tersebut.
Pintu rumah diketuk, lalu muncullah seorang tua renta di balik pintu. “Orang ini mengaku bahwa ini adalah rumahnya”, kata seorang utusan Raja. Orang tua itu memasang wajah tak senang pada sang pemuda, lalu bertanya, “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha, anak Filistin!” jawabnya.
“Coba ulangi lagi!” orang tua tersebut meminta. Tamlikha pun memperjelas jawabannya.
Tiba-tiba, orang tua tersebut berlutut di hadapan Tamlikha sambil berkata, “Ini adalah sesepuhku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Orang-orang yang berada di tempat itu pun terkaget-kaget.
Sang Raja pun mendengar apa yang terjadi, sehingga ia terburu-buru menuju tempat dimana Tamlikha berada. Setelah bertemu, ia pun mengangkat Tamlikha diatas pundaknya. Orang-orang pun menciumi tangan dan kaki Tamlikha. Mereka pun sama menanyakan bagaimana keadaan teman-temannya dan bagaimana keadaannya. Tamlikha menjelaskan tempat teman-temannya berada. Akhirnya, Tamlikha bersama dua orang bangsawan dan beberapa orang menuju gua persembunyian mereka.
---
Sampai di dekat gua, Tamlikha meminta orang yang membersamainya untuk tidak ikut masuk ke dalam gua. Ia takut kalau-kalau mereka merasa akan ditawan dan dibunuh. Orang yang membersamainya mengiyakan. Tamlikha pun berjalan sendirian dan masuk ke dalam gua.
Ia menceritakan apa yang terjadi kepada teman-temannya. Ia menjelaskan betapa keadaan telah jauh berbeda dan ternyata mereka telah berdiam di dalam gua selama tiga ratus tahun.
Awalnya, teman-teman Tamlikha merasa terkejut dan tak percaya dengan apa yang ia katakan. Namun akhirnya mereka pun dapat menerima apa yang terjadi. Mereka pun sama-sama menengadahkan tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah mengabulkan do’a mereka. Malaikat maut pun mencabut nyawa mereka dan Allah melenyapkan pintu gua hingga tak berbekas. Dua orang bangsawan yang sedari tadi menunggu pun mencoba mendekati gua dan berputar-putar di sekitar tempat itu. Mereka mencari keberadaan Tamlikha selama tujuh hari berturut-turut, namun tak jua berhasil. Mereka pun mencoba menerka-nerka apa yang telah terjadi.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu."
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu."
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.
---
Wallahu a’lam bish shawaf []