Salah satu peristiwa besar yang menjadi catatan sejarah penting telah dilalui umat Islam. Tepat pada bulan Ramadhan, terjadi peristiwa pembebasan kota Makkah (Fathul Makkah) yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam beserta sekitar sepuluh ribu umat Islam Anshar dan Muhajirin. Tanpa perlawanan dan tanpa pertumpahan darah, seketika itu Makkah sebagai simbol tauhid berada dalam kekuasaan umat Islam.
Salah satu misi utama Rasulullah setelah pembebasan Makkah adalah pemberantasan Paganisme –penyembahan terhadap berhala- untuk memurnikan dan meninggikan Tauhid. Maka, Rasulullah pun mengutus para sahabatnya untuk menghancurkan berhala-berhala yang selama ini berada di sekeliling Ka’bah. Selain itu, Rasulullah pun mengutus tim yang bertugas untuk menghancurkan berhala-berhala sesembahan yang ada di tempat ibadah atau sinagog di seluruh penjuru kota Makkah dan sekitarnya.
Khalid bin Walid, salah satu panglima perang terbaik yang pernah dimiliki Islam, bertugas menghancurkan berhala Uzza. Setelah itu Khalid beserta tiga ratus lima puluh orang pasukan yang terdiri dari kaum Muhajirin, Anshar, dan Bani Sulaim mendapat mandat dari Rasulullah untuk menemui Bani Judzaimah sebagai da’i yang mengajak mereka untuk masuk Islam. Selain itu, juga untuk menghancurkan berhala sesembahan jika ada. Tentu saja, ini adalah sebuah misi damai tanpa pertumpahan darah, kecuali jika sangat mendesak.
“Siapa Kalian?” tanya Khalid sesaat sampai di perkampungan Bani Judzaimah.
“Kami orang-orang muslim. Kami menjalankan shalat, kami percaya pada Muhammad, kami membangun masjid di tanah lapang, dan kami mengumandangkan adzan”, jawab pemimpin mereka.
”Lalu senjata kalian untuk menyerang kami?’ tanya Khalid lagi.
“Bukan”, jawabnya. “Kami terlibat permusuhan dengan suatu kaum Arab, dan kami khawatir kalian adalah mereka.”
“Sekarang letakkan senjata kalian”, perintah Khalid.
Memang dasar Khalid, nalurinya sebagai panglima perang yang terbiasa dengan pedang dan darah manusia pun muncul pada saat keadaan seperti ini. Dia khawatir kalau-kalau penduduk Bani Judzaimah ini berkata dusta. Sayangnya, ini adalah pelampiasan yang salah, bahkan sangat fatal.
Khalid membunuh sebagian dari mereka, dan menjadikan tawanan sebagian yang lain. Selanjutnya sebagian yang ditawan tersebut ia bagi-bagikan kepada anak buahnya sebagai tawanan perang. Mereka pun pulang dengan meninggalkan perkampungan Bani Judzaimah yang penuh darah dan membawa ‘tawanan perang’ yang masih hidup.
Pada tengah malam, Khalid mengumumkan, “Barangsiapa merasa membawa tawanan, bunuhlah ia.” Orang-orang Bani Sulaim langsung membunuh tawanan yang ada pada mereka. Sementara orang-orang Muhajirin dan Anshar lebih memilih untuk melepaskan tawanan mereka.
Berita tentang Khalid dan pasukkannya ini pun segera terdengar oleh Rasulullah. Nampak raut muka sedih dan kecewa di wajah beliau. Rasulullah pun berdo’a, “Ya Allah, sungguh aku tidak bertanggungjawab dari apa yang dilakukan Khalid.” Selanjutnya Rasulullah mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyelesaikan masalah yang muncul dari apa yang dilakukan oleh Khalid tersebut.
Kisah ini mengajarkan kita satu hal, bahwa kita tidak boleh bersikap ‘egois’ dengan selalu ‘menjadi diri kita’ pada semua tempat dan sepanjang waktu. Adakalanya, kita harus menjadi ‘orang lain’ agar keberadaan kita dapat memberikan kenyamanan bagi orang lain. Jika sifat asli kita adalah tegas dan berwibawa, maka dalam beberapa keadaan kita harus menjadi orang yang lembut hatinya. Ini tak lain dan tak bukan adalah bentuk penghormatan kepada orang-orang di sekitar kita. Begitu pun sebaliknya.
Seperti itu juga yang dilakukan Umar radhiallahu ‘anhu ketika telah menyatakan ke-Islaman-nya. Ia bukan lagi orang yang keras hatinya dalam segala hal seperti pada masa jahiliahnya. Setelah memeluk Islam, dalam beberapa keadaan ia bisa menjadi seorang yang keras dan tegas, menjadi pasukan perang yang tangguh, dan dalam beberapa kesempatan lain ia bisa menjadi seseorang yang sangat lembut hatinya sehingga dengan mudah mengucurkan air matanya.
Disunting dari buku 'Kelengkapan Tarikh Rasulullah' karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. []