Awal abad ke-8 Masehi, Andalusia yang berada di Semenanjung Iberia dipimpin oleh seorang raja dzalim yang tak disukai rakyatnya. Raja Roderick, begitu sang raja dipanggil, dari bangsa Visigoth membuat wanita yang berada di negeri itu tak betah tinggal disana. Juga sang raja mengenakan biaya cukai tinggi kepada para petani, melakukan penindasan tak berperikemanusiaan pada rakyatnya, dan tak memberikan ruang kebebasan bagi pemeluk agama. Hingga, banyak dari penduduk Andalusia memilih untuk mengasingkan diri di negeri seberang selatan yang lebih aman, Afrika Utara, yang dipimpin oleh Daulah Ummayah.
Julian, Gubernur wilayah Ceuta, yang tak suka dengan kepemimpinan Roderick meminta bantuan kepada Musa bin Nusair, sang Gubernur Afrika, untuk mengakhiri penindasan kejam itu. Musa bin Nusair pun meminta ijin kepada sang Khalifah Ummayah, Al-Walid, untuk melakukan pembebasan Andalusia lewat pasukannya. Demi menghancurkan sebuah kedzaliman struktural, khalifah Al-Walid pun memberi ijin untuk pembebasan Andalusia.
Musa bin Nusair menunjuk Tariq bin Ziyad, seorang panglima perang tangguh yang dulunya merupakan budak sahayanya, untuk memimpin pasukan muslim. Tariq sendiri sewaktu menjadi budak Musa bin Nusair menunjukkan bakat militernya hingga kemudian ia pun dimasukkan sebagai anggota militer Gubernur. Seiring karir militernya yang cemerlang, ia pun mendapat amanah untuk memengang puncak pimpinan militer di wilayah Afrika. Dengan kekuatan sekitar 12.000 pasukan, Tariq bin Ziyad bersiap untuk melawan pasukan Raja Roderick dengan kekuatan 100.000 pasukan. Tak imbang memang, tapi Islam selalu mencatat kisah indah dari ketimpangan jumlah manusia dua kubu di medan perang.
Kisah heroik Tariq bin Ziyad dimulai tatkala mereka telah mampu menyeberangi selat pemisah antara Semenanjung Iberia dan Afrika Utara, dan menempati sebuah bukit, Jabal Al-Fath. Tariq pun berdiri gagah disebuah sisi menjulang dari bukit kemudian mengeluarkan perintah yang menjadikan pasukannya keheran.
“Bakar semua perahu kita.” Begitu kebijakan yang ia terapkan. “Pilihan kita hanya dua: mati syahid atau mendapati kemenangan.” Perintah ini muncul tak lain untuk meningkatkan moral serta semangat juang pasukan agar totalitas di medang perang.
Sebagian besar pun ragu dengan putusan sang panglima tertinggi. Beberapa orang menyeletuk menganggap ini adalah sebuah ide gila yang tak sesuai dengan kaidah perang dalam Islam. Namun, perkataan Tariq selanjutnya justru membuat pasukannya berkobar semangat.
“Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian. Musuh pula berada di hadapan. Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali sikap benar dan jujur. Musuh kalian sudah bersiap sedia di depan dengan senjata mereka. Kekuatan mereka besar sekali . Sementara kalian tidak memiliki bekalan lain kecuali pedang , dan tidak ada bekalan makanan untuk kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian. Sekiranya perang ini berkepanjangan dan kalian tidak segera mengatasainya, akan sirnalah kekuatan kalian. Akan lenyaplah rasa gentar mereka terhadap kalian. Oleh itu, singkirlah sifat hina yang ada dalam diri kalian dengan sifat terhormat .Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya pilihan,menaklukkan negeri ini dan menetap di sini, atau kita semua syahid.Ketahuilah, sekiranya kalian bersabar untuk sedikit menderita, niscaya kalian akan dapat bersenang-senang dalam waktu yang lama. Oleh kerana itu, janganlah kalian merasa kecewa dengan tindakanku, sebab nasib kalian tidak akan lebih buruk daripadak.”
Memang aneh apa yang dilakukan Tariq, tapi bukankah pada beratus-ratus tahun berikutnya Muhammad Al-Fatih juga menerapkan strategi yang sama anehnya? Pemimpin-pemimpin Islam sepertinya tak pernah kehabisan akal untuk menegakkan dien-Nya.
Proses penaklukan Andalus pun dimulai. Dan sudah pasti, pasukan muslim mendapat kemenangan gemilang hasil perjuangan melawan pasukan yang lebih banyak dari segi jumlah, dan lebih lengkap dari segi peralatan perang.
Selanjutnya, Tariq pun diangkat sebagai Gubernur sementara wilayah Andalusia hingga mereka dapat membentuk pemerintahan mandiri yang jauh dari kesan hedon dan dzalim.
Pada masa-masa berikutnya, selat yang memisahkan Afrika Utara dan Spanyol, yang merupakan tempat yang diseberangi Tariq bin Ziyad dan pasukannya, diberi nama Gibraltar. Gibraltar diambil dari kata Jabal Tariq, bukit Tariq, atau disebut juga Jabal Al-Fath, yang merupakan tempat dimana Tariq membuat seruan moral yang aneh namun dapat menggetarkan jiwa pasukannya hingga mereka mampu menaklukkan Andalusia dan mengakhiri pemerintahan dzalim.
"Mereka (Visigoth) segera digantikan oleh 'Elang-Elang Arab dan Afrika' yang tidak hanya merebut Semenanjung Iberia dari tangan bangsa Visigoth, tetapi juga mengukir salah satu mozaik terindah dalam peradaban dunia" (Alwi Alatas)
[]