Beberapa bulan pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta sebagai wakil presiden Indonesia terpilih melangsungkan pernikahan dengan Rachmi Rachim, seorang wanita muda yang usianya terpaut 24 tahun darinya. Berlangsungnya ikatan suci ini merupakan janji yang pernah dilontarkan Bung Hatta semasa perjuangan mencapai kemerdekaan, bahwa beliau hanya akan menikah setelah Indonesia terbebas dari belenggu pejajahan. Satu hal menarik terjadi pada proses pernikahan mereka berdua.
Pernikahan kedua insan ini bisa dibilang unik, karena Bung Hatta menjadikan sebuah buku karangannya berjudul ‘Alam Pikiran Yunani’ sebagai maharnya. Bagi sebagian orang mungkin ini adalah hal yang aneh, namun bagi Hatta, atau mungkin juga Rachmi, ini adalah hal yang biasa.
Dalam perjalanan rumah tangga Hatta dan istrinya, ada beberapa sindiran yang muncul oleh teman sejawat bung Hatta terkait kehidupan rumah tangganya. Banyak yang mengatakan bahwasanya Rachmi ‘hanyalah menjadi istri kedua’ Hatta, sedangkan ‘istri pertamanya’ adalah buku. Ini adalah celoteh yang bisa jadi merepresentasikan kehidupan sang wakil presiden.
Rachmi sebagai istri pun nampaknya tak begitu terusik dengan ini, meskipun terkadang ada rasa cemburu yang muncul laiknya kebanyakan wanita. Bung Hatta dikenal sebagai seorang yang bisa menghabiskan sebagian besar waktunya dengan buku, melebihi waktu yang diluangkan bersama sang istri.
Hatta, seorang pria yang tumbuh dengan menjadikan buku sebagai teman hidupnya, dikenal sebagai pribadi yang cerdas hingga mampu mengenyam pendidikan di sekolah rakyat, ELS, MULO, dan selanjutnya menempuh pendidikan sarjana di Belanda. Saat menempuh gelar sarjana pun Hatta tak kehilangan kebiasaannya.
Ketertarikannya pada ilmu membuatnya tak sempat berpikiran untuk mencari pendamping hidup di kala itu, meskipun ada seorang wanita yang menunjukkan ketertarikan pada beliau. Beliau pun mengoleksi banyak buku semenjak kuliah di Belanda hingga kembali lagi ke Batavia. Di rumahnya, beliau membuat perpustakaan pribadi berisi buku-buku dengan jumlah teramat banyak.
Ada satu kisah menarik tentang Hatta dan bukunya. Saat perjuangan mendapatkan kemerdekaan, Bung Hatta sempat diasingkan beberapa kali di berbagai daerah. Dalam pengasingannya itu Bung Hatta senantiasa membawa buku-bukunya. Tak tanggung-tanggung, beliau sampai menyediakan enam belas peti kemas untuk menyimpan bukunya. Enam belas peti buku itu pun selalu beliau bawa sejak pulang dari Belanda ke Batavia, lalu saat pengasingan di Boven Digul, Banda Neira, hingga kembali lagi ke Batavia.
Ketika tiba di Digul, teman sesama pengasingannya pun sempat mengumpat, ‘Anda kesini dibuang atau mau buka toko buku? Bung Hatta pun sempat bertengkar dengan Sutan Sjahrir gegara buku-bukunya itu ketika akan kembali ke Batavia. Sjahrir ingin membawa anak angkatnya sebanyak enam orang, namun pesawat yang mereka tumpangi tak cukup kuat untuk membawa enam orang dan 16 peti buku. Keduanya sama-sama ngotot hingga sempat bersitegang untuk menentukan apa saja yang akan diangkut, meskipun pada akhirnya Bung Hatta mengalah dengan syarat yang cukup berat.
Hatta adalah satu dari sedikit orang yang mendapat kenikmatan untuk menuntut ilmu. Pengetahuan yang dimilikinya pun menjadi salah satu bagian penting pada masa pemerintahan pasca kemerdekaan, terutama untuk mengimbangi karakter Soekarno yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya. Hatta adalah orang yang unik, yang mungkin akan sangat jarang kita temui orang seperti beliau di masa ini. []