Banyak orang merasa sinis terhadap berbagai kegiatan aktivis mahasiswa kampus. Alasannya tak lain karena tak begitu ada dampak yang bisa dirasakan karena kegiatannya. Demonstrasi hanya mengganggu arus lalu lintas dan aktivitas masyarakat. Apalagi jika demonstrasi dalam jumlah banyak dan berlangsung riuh-ricuh.
Memang bisa dimaklumi jika ada stigma negatif terhadap demonstrasi mahasiswa. Alasan pertama bisa jadi karena pergolakan masa lalu akibat pertentangan rezim dan mahasiswa yang menimbulkan kerusuhan berdarah. Alasan kedua datang dari media masa yang kemudian membentuk persepsi publik. Aksi mahasiswa yang muncul di ruang-ruang media masa selalu merupakan aksi yang berlangsung dan berakhir ricuh, atau setidaknya konfrontatif. Tugas media, terutama media arus utama, memang mencari bagian menarik dari suatu peristiwa, dan bagian ‘menarik’ dari suatu demonstrasi adalah kerusuhan. Taka da kerusuhan, taka da berita. Dan ketiga, memang ada oknum-oknum yang suka membuat kericuhan dalam setiap aksinya. Stigma negatif itu juga muncul karena memang dirinya tak pernah bersinggungan apalagi terlibat langsung dengan aksi mahasiswa.
Sebenarnya aksi mahasiswa tak cuma dijalanan dalam bentuk demonstrasi. Ada kegiatan sosial masyarakat, kegiatan yang bersifat penelitian sesuai bidang keahlian, juga kegiatan yang bersifat prestatif. Itu semua disebut aksi jika kita memandang dari sudut pandang yang luas. Namun sayangnya diksi ‘aksi’ itu telah mengalami reduksi makna hingga hanya ditautkan pada kegiatan jalanan. Selan aksi jalanan, aksi dalam bentuk lainnya memang jarang diketahui masyarakat karena memang kecenderungan pemberitaan media yang tidak mengarah kesana. Aksi yang bersifat sosial hanya dirasakan oleh obyek kegiatan, dan aksi yang bersifat prestatif pun hanya menjadi pemberitahan yang lewat begitu saja.
Lihat saja di pagelaran mahasiswa terbesar sekelas Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) yang sepi pemberitaan. Selang satu-dua hari perhelatan Pimnas ke XXIX di Bogor saya mencoba mengecek pemberitaan di media massa, media online, ataupun media cetak. Saat itu memang saya ingin membuat rilis berita berkenaan dengan Pimnas. Namun hasilnya nihil. Kalaupun ada, berita itu pun muncul setelah satu minggu sejak perhelatan kegiatan, dan penyampai berita sebagian besar merupakan website kampus yang terlibat dalam Pimnas. Padahal, Pimnas itu sendiri bisa dikatakan olimiade nasionalnya mahasiswa.
Ada yang berpandangan bahwa tak selayaknya mahasiswa melakukan demonstrasi jalanan. Lha wong yang mereka hadapi itu penguasa, orang-orang yang dari segi akademik dan pegalamannya jauh diatas mahasiswa. “Kok berani-beraninya?” Pandangan semacam itu nampaknya begitu subur di kalangan yang masih awan terhadap aksi demonstrasi.
Aksi demonstrasi bukanlah ditujukkan untuk ‘menggurui’ penguasa.Mereka juga ‘sadar diri’ akan kedudukannya. Ia justru berfungsi untuk mengingatkan pemerintah akan tugas, tanggungan, dan kewajibannya sebagai representasi kebutuhan rakyat. Jika penguasa membuat aturan namun dalam penerapan kebijakannya tak sesuai dengan apa yang telah dijanjikan apa lagi bertolak dari hajat hidup rakyat kebanyakan, wajar kan jika mahasiswa mengingatkan? ‘Parlemen jalanan’ ini sendiri juga menjadi ciri khas identitas sebagai bagian warga negara yang berdampingan dengan kelompok lainnya. Mahasiswa berbeda dengan para profesional dan pakar, juga berbeda dengan para cendekiawan maupun ulama.
Parlemen jalanan tak dilaksanakan secara abstrak. Ia punya aturan dan ketentuan dan dilindungi dalam undang-undang. Jika ada kerusuhan sampai tingkat yang parah seperti penjarahan, itu dilakukan oleh oknum. Dan alasan untuk melakukan itu pun berbeda-beda. Ada oknum-oknum yang biasa melakukan kerusuhan saat aksi, ada yan terprovokasi oleh ‘oknum lainnya’, dan ada pula yang merasa tersinggung suara mereka tak didengar.
Namun juga tak dapat dipungkiri bahwa saat merencanakan untuk melakukan aksi memang perlu kajian mendalam, agar aksi tak sekadar menunjukkan eksistensi.
03 Ramadhan 1438 H