Dalam beberapa forum dan juga diskusi-disksusi ringan, aku pernah menyampaikan perlunya KAMMI di UM dipecah menjadi beberapa komisariat, setidaknya ada dua komisariat. Hal ini ku sampaikan kebanyakan dengan nada bercanda, karena bertujuan untuk menyindir, namun ternyata banyak yang menganggap candaan biasa sehingga hal itu lenyap begitu saja ketika forum sudah ditutup.
Gagasan tentang pemekaran komisariat ini tentu tak muncul dari sebuah pemikiran yang asal-asalan. Bukan sekadar ingin ikut-ikutan organisasi pergerakan lainnya yang sudah mempunyai komisariat berbasis fakultas atau rumpun ilmu. Hal itu muncul didasari untuk memunculkan iklim kompetisi didalam diri kader dan juga ingin menumbuhkan komunikasi dan diskursus yang intens diantara kkader.
Pemekaran komisariat tentu berbeda pemaknaannya dengan pembentukan komisariat yang benar-benar baru. Perbedaan itu setidaknya terlihat dari tujuan dan kondisinya saat itu. Pemekaran diperlukan akan komisariat itu bisa berkembang lebi dinamis lagi, lebih banyak solusi pergerakan yang bisa dimunculkan, dan untuk mengembangkan eksistensi pergerakan.
Salah satu yang memengaruhi pemikiranku untuk pemekaran komisariat meskipun dengan kondisi yang masih minim kuantitas dan kualitas kader adalah sebuah artikel tentang kompetisi dua bisnis waralaba terbesar di negeri ini. Mereka punya minimarket hampir di seluruh pelosok negeri ini. Di kota-kota besar, hampir di seluruh sudut runag kota kita bisa menemukannya. Dan yang paling mencengangkan, mereka berdua tak segan-segan untuk membuka minimarket bersebelahan dengan competitor utamanya. Seorang pengamat ekonomi mengatakan: hal itu dilakukan agar masing-masing waralaba terus berpikir dan berinovasi agar bisa menyajikan sesuatu yang lebih baik daripada kompetitornya.
Dengan adanya pemekaran komisariat, tentu kerja yang dilakukan menjadi berbeda. Iklim kompetisi yang muncul pun menjadi semakin kuat dan hangat. Bukan hanya daam internal organisasi, namun juga dengan kompetitor pergerakan lainnya. Pemekaran ini juga memungkinkan intensitas komunikasi, diskusi, dan saling pengertian kader semakin bertambah. Selain itu juga keadaan ini akan membuat kader semakin berpikir keras untuk memuncukan inovasi baru dalam tubuh organisasi, tak melulu bertindak pasifis dan melulu mengandalkan kebijakan pusat.
Tentu ada banyak hal yang juga harus dipikirkan secara matang jika ide ini memang benar-benar direalisasikan. Terutama mengenai bagaimana membuat formulasi pengkaderan dan pergerakan yang disesuaikan dengan kultur yang lebih sempit dan lebih praktis. Selain itu, juga harus diperhatikan bagaimana proses penempatan amanah kader agar tidak ada pola destruktif dalam menjalankan amanah.
Namun pada akhirnya kita memang dihadapkan pada suatu fakta yang tak bisa dipungkiri: setiap pilihan mempunyai konsekuensi yang berbeda.
05 Ramadhan 1438 H
More From Author
Catatan