Saat SMA dulu tak pernah terpikirkan dalam benakku untuk mengikuti organisasi kerohanian sekolah, Badan Dakwah Islam (BDI). Alasan utamanya memang kulihat geliat organisasinya kurang dinamis. Struktural organisasinya kurang rapi, dan kegiatannya cenderung insidental tanpa terprogram di awal kepengurusan.
Namun ceritanya menjadi berubah tatkala suatu siang selepas shalat dzuhur di sekolah, aku dipanggil seorang senior yang ternyata ketua BDI saat itu, untuk diajaknya menemui salah seorang pembina BDI, guru Agama Islam kami. Di situ ada pula satu orang teman seangkatan beda jurusan yang tak begitu ku kenal.
Di hadapan sang pembina BDI, kami di beritahukan beberapa hal. Pertama, sudah saatnya BDI ini di restrukturisasi. Kedua, berdasarkan beberapa pertimbangan akhirnya aku dan seorang teman tadi ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua, aku sebagai ketuanya. Lalu ada dua orang perempuan lagi yang ditunjuk sebagai sekretaris dan bendahara. Penunjukkan itu didasari dengan alasan yang sederhana: kami merupakan orang-orang yang sering terlihat sholat di masjid sekolah selama ini.
Dari situ aku mengetahui bahwa ternyata tak ada proses rekrutmen terbuka di organisasi ini. Apalagi setelah aku mendapati cerita dari sang ketua sebelumnya tentang organisasi ini. Tugas utama kami adalah membantu sekolah dalam hal yang berkatan dengan agama Islam. Kegiatan rutin berupa shalat jum’at, kegiatan lannya berupa insidental seperti infaq dan PHBI. Mungkin alasan seperti inilah yang membuat orang lain memiliki pandangan yang sama sepertiku dulu.
Sempat terpikirkan olehku bagaimana agar organisasi ini bisa berkembang dan lebih terstruktur. Namun apalah daya tenaga kami tak cukup dan sang pembina tak memberikan sinyal positif. Harapan itu sempat muncul saat aku diminta guruku untuk mengikuti diklat IPNU & IPPNU. Namun buah yang dihasilkan tak begitu manis. Apa yang ku dapatkan disana tak lantas bisa ku terapkan di BDI ini. Dan hingga kepengurusan berakhir dan berganti, kondisi organisasi ini tetaplah sama.
Saat aku sudah jadi mahasiswa, sempat terbesit dalam benakku untuk mengetahui kondisi BDI di sekolah saat ini. Alasan pertama karena di kampus aku ikut organisasi kerohanian dan bertemu dengan orang-orang yang aktif di kerohanian Islam sekolah sehingga banyak ilmu yang kudapat dari sana. Kedua karena salah seorang guru di sekolahku, meskipun bukan guru agama Islam, memiliki kepedulian yang amat besar terhadap dakwah sekolah dan BDI secara khusus pernah menghubungi ku. Beliau menyeritakan kondisi BDI saat ini dan memintaku untuk menyoba membimbing mereka.
Aku diberi nomor kontak sang ketua dan setelahnya. Ku perkenalkan diriku dan kutanyakan kondisi BDI saat ini. Namun memang benar kita tidak bisa sepenuhnya berharap banyak kepada seorang remaja yang pemikirannya masih berkembang dan cenderung pasif jika ia berhadapan dengan mahasiswa. Mungkin sama seperti aku dulu yang cenderung skeptis. Ia mengatakan kondisi BDI baik-baik saja. Ku tanya apakah ada yang bisa ku bantu, dia katakana masih belum ada sesuatu yang mengganjal. Dan ketika dia ku ajak bertemu selepas dia pulang sekolah dan ku tawarkan gagasanku yang dulu pernah kumunculkan, dia merespon dengan biasa. Komunikasi kami pun berlanjut biasa dan terhenti karena kesibukanku. Sempat juga aku menyari informasi dari alumni sekolah lain di kabupaten Malang yang sekampus dengan ku. Ternyata memang geliat rohis di Malang ini kurang begitu baik.
Sampai saat ini sebenarnya aku masih berharap agar organisasiku yang kuikuti dulu itu, meskipun bukan karena keinginan pribadi, dapat berkembang dan bukan sekadar menjadi organisasi pelaksana kegiatan ke-Islaman dengan sedikit muatan-muatan dakwah di dalamnya. Padahal nama dari organisasi itu sendiri menyatut ‘Dakwah’ secara langsung. Semoga kedepannya ada jalan terang yang bisa menjadi alasan bagi BDI ini untuk berkembang dan memiliki kemantapan dari segi organisatotial dan gerak dakwahnya. Aamiin.
06 Ramadhan 1438 H