Sandiaga Uno dalam debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Republik Indonesia 2019-2024 mengungkapkan dua program andalan dalam bidang pendidikan: perbaikan kualitas pendidikan dan penyejahteraan guru honorer. Salah satu wacana penting dalam perbaikan kualitas pendidikan adalah dengan menghapus sistem Ujian Nasional (UN). Lebih rinci, dirinya ingin UN diganti dengan sistem penelusuran bakat dan minat.
Pada dasarnya, wacana penghapusan UN yang disampaikan Sandi bukanlah kali pertama. Sudah sering suara-suara lantang menginginkan penghapusan UN, baik dari pihak-pihak yang terlibat di lapangan maupun dari pemerintah secara langsung. Salah satunya disuarakan ketika Anies Baswedan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2014-2016). Namun wacana yang digaungkan Anies tersebut dianulir.
Sebagai gantinya, sejak 2015 UN tak lagi menentukan kelulusan dan hanya difungsikan sebagai tolok ukur kualitas pendidikan di Indonesia. Meskipun begitu, suara sumbang tentang betapa menyengsarakannya UN tetap ada, terutama dari pelajar: korban definitif dari sistem UN yang berubah-ubah.
Menelaah Sejarah Ujian di Sekolah
Penerapan ujian secara nasional bagi pelajar bukanlah suatu proses instan yang tiba-tiba dicetuskan. Kisahnya dimulai pada sekitar tahun 605 Masehi di China, tepatnya pada masa Dinasti Sui.
Ujian serentak ini disebut Ujian Kekaisaran dengan peserta seluruh pelajar pada wilayah kekuasaan Dinasti Sui. Tujuannya adalah untuk menyeleksi dan memilih kandidat-kandidat pegawai pemerintah kekaisaran. Adanya ujian ini membuat para pegawai pemerintah ‘tersertifikasi’ kemampuannya.
Namun saat Dinasti Qing memerintah pada 1905 M, kebijakan ujian terstandar nasional yang sudah dilakukan turun-menurun ini dihapuskan. Di tempat lain, seabad sebelum sistem ujian ini dihapuskan, Inggris Raya sudah mengadopsi sistem ujian di China dan mulai diterapkan pada 1806 untuk menyeleksi pejabat sipil.
Pada 1853, Kanselir William Gladstone menugaskan Sir Stafford Northcote dan Charles Trevelyan untuk menyelidiki operasional dan pengorganisasian Pegawai Negeri Sipil guna menentukan standar pengembangan soal-soal ujian nasional. Sistem ujian pun mulai terbentuk dan pada akhirnya banyak negara mengikuti Inggris dalam menerapkan ujian terstandar nasional dengan berbagai modifikasi.
Di Indonesia, UN sudah ada sejak 1950. Ada setidaknya tujuh periodisasi pelaksanaan dengan berbagai nama dan format ujiannya. Pada awal diterapkannya (1950-1965) seluruh soal UN merupakan esai atau isian. Jika dihitung, sejak tahun 1950 sampai 2015 (65 tahun) UN telah digunakan sebagai penentu kelulusan pelajar baik di tingkat dasar maupun menengah.
Tentunya, ujian nasional yang menjadi standar kelulusan pelajar tak hanya diterapkan di Indonesia. Banyak negara maju yang juga menerapkan hal sama.
Ujian Nasional Perspektif Negara Maju
Saat ini, di beberapa negara maju masih menerapkan ujian nasional sebagai standar kelulusan. Di Inggris Raya, seluruh pelajar pendidikan menengah wajib mengikuti ujian nasional dengan format General Certificate of Secondary Education (GCSE). Hal yang sama berlaku di Prancis dengan nama Baccalauréat.
Hal sebaliknya diterapkan Amerika Serikat (AS). Di negeri Paman Sam ini, ujian nasional bukan sesuatu yang wajib dan tidak menentukan kelulusan. Ujian hanya diambil oleh pelajar yang akan melanjutkan studi di perguruan tinggi pada program tertentu.
Lalu di Finlandia yang menjadi rujukan kualitas pendidikan dasar dan menengah, UN tidak diterapkan sama sekali. Penilaian kemampuan dan kualitas pelajar dilakukan dengan mengandalkan kualitas sistem evaluasi pembelajaran sehingga didapatkan feedback tepat untuk menilai dan memberikan rekomendasi pengembangan minat belajar.
Secara umum, memang tidak terdapat standar baku secara internasional mengenai hal ini. Namun menarik untuk menelaah laporan UNESCO tentang ujian terstandar di sekolah. Dalam publikasi UNESCO Examination Systems, pada dasarnya tujuan ujian meliputi: fungsi seleksi jenjang berikutnya, fungsi sertifikasi kualitas pelajar, dan tolok ukur bagi pemerintah untuk mengetahui akuntabilitas serta efektivitas pengajaran.
Lalu bagaimana kemudian telaah UN dalam perspektif Indonesia?
Wacana Penghapusan UN
Sebenarnya, kita tidak perlu membuat telaah teoritis berlebihan untuk mengidentifikasi bagaimana sebenarnya UN ‘mengancam’ ketenangan hidup kita. Cukup mengingat bagaiman pelaksanaan UN saat masih menjadi standar kelulusan pelajar, kita akan menemukan bahwa momok UN begitu menyeramkan, lebih seram dari seluruh cerita hantu dalam mitologi nusantara sekalipun.
Kejadian ini juga pasti terjadi pada setiap penyelenggaraan UN: Korupsi anggaran; Kolusi penerima proyek pengadaan soal ujian, serta pengamanan soal-soal UN yang bahkan harus dilakukan polisi bersenjata laras panjang. Lalu pada akhirnya ini yang terjadi: soal ujian bocor dan tersebar ke seluruh penjuru negeri. (Sebagai catatan, dahulu sebagian besar dari 10 orang peraih nilai UN terbaik di sekolah saya hanya mengandalkan kunci jawaban yang bocor).
Yang paling miris adalah selebrasi pelajar setelah UN selesai ditunaikan. Berbagai selebrasi amoral yang ditunjukkan pelajar pada dasarnya adalah symbol bebasnya dari penjara yang mengekang.
Secara psikologis, pada dasarnya UN memang telah dipersepsikan sebagai sesuatu yang menyeramkan, bahkan oleh penyelenggara ujian.
Angin segar saat wacana UN tidak lagi menentukan kelulusan pada 2015 pun tak memberi dampak signifikan. Meskipun para pelajar tidak terlalu tertekan secara psikologis, namun sekolah bersikukuh mematok standar nilai tinggi bagi pelajarnya. Tentu ini berkaitan dengan popularitas sekolah di mata masyarakat. Benar saja, sebagian besar sekolah unggulan akan menjunjung setiap publikasi hasil UN.
Lalu bagaimana jika UN benar-benar dihapuskan?
Tentu jika hal tersebut dilakukan akan muncul pertanyaan lain, apakah cukup penilaian hasil belajar diidentifikasi melalui raport? Gagasan Sandi untuk mengganti UN dengan penelusuran minat-bakat tentu masih abstrak. Namun kunci untuk menjawabnyanya adalah dengan menyesuaikan proses dan penilaian pendidikan dengan Revolusi Industri 4.0. Paltform ini menuntut pengembangan SDM berbasis bakat dan minat dengan pendekatan teknologi informasi.
Artinya adalah prioritas yang harus dilakukan saat ini adalah perbaikan dan pemerataan kualitas serta kuantitas sumberdaya manusia di Indonesia. Hal ini berarti untuk jangka pendek UN memang harus ditiadakan, meskipun sebatas untuk menjadi patokan telaah kualitas pendidikan. Apalagi tumpang tindih antara UN SMA/sederajat dengan Ujian Masuk Perguruan Tinggi menjadi beban berat.
Jika standar kualitas dan kuantitas SDM sudah terpenuhi, bukan tidak mungkin UN sebagai sarana mengukur kualitas pendidikan diadakan lagi.
Pada akirnya, saya setuju dengan strategi pelaksanaan ujian yang dipublikasikan UNESCO Examination System, yaitu: Memastikan integritas penilaian; Mengurangi tekanan psikologis kepada siswa; Mengayomi keluasan pengetahuan siswa yang berbeda; Menilai rentang tujuan kurikuler (akademik) yang lebih luas; dan Menjamin kualitas pendidikan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. []
Editor: CZ