Pagi itu, pada suatu daurah, dalam suasana yang tenang, kami beberapa orang laki-laki sedang menunggu pergantian materi. Ditemani nasi dan lauk senampan untuk sarapan, kami mengobrol ringan tentang kehidupan.
Berhubung kami semua sudah ‘purna tugas’ di kampus, topik pembicaraan pun menyasar seputar kriteria calon pasangan hidup (jodoh). Kami berbincang sebentar dan kemudian langsung menemukan kesepahaman, bahwa tipe kepribadian menjadi salah satu kriteria penting dalam memilih pasangan.
Kami bersepakat bahwa istilah ‘saling melengkapi’ dalam pernikahan salah satunya dilihat dari kepribadian yang berbeda. Perjodohan terbaik, salah satunya bisa didapatkan dengan memilih orang dengan kepribadian berbeda bahkan bertolak belakang. Seorang humoris dengan orang serius, orang banyak bicara dengan pendiam, tipe pemikir dengan tipe orator.
Kami pun mulai memperkuat argumen. Dimulai dengan menganalisis kepribadian Rasulullah dan ibunda Khadijah, juga para senior dan teman yang lebih dulu sudah menemukan pasangannya. Kesimpulan kami mengarah kepada hipotesis awal. Lalu, tanpa banyak bicara lagi, kami sudah bisa mengetahui kriteria calon pasangan masing-masing.
Namun begitu, kami tak sampai menyebut nama definitif dan membiarkan pikiran masing-masing melayang menebak orang yang cocok dengan masing-masing diantara kami.
Sebenarnya, saya sudah memikirkan tentang kriteria pasangan berdasarkan kepribadian pada awal-awal semester kuliah (saat menjadi pengurus Rohis), pada suatu acara training. Waktu itu, kami diperkenalkan dengan empat tipe kepribadian: sanguinis, melankolis, koleris, dan phlegmatis.
Pernikahan dua orang sanguinis akan membuat rumah tangga terlalu ramai. Juga sebaliknya, pernikahan dua orang melankolis akan membuat rumah tangga terlalu sepi. Tidak dinamis! Yang (agak) cocok adalah pernikahan antara orang sanguinis dengan orang melankolis. Juga seperti itu ketika kita berbicara tentang kepribadian introver-ekstrover.
Kemudian di hari-hari dan tahun-tahun berikutnya, dalam banyak pernikahan senior dan kawan, saya suka menebak seperti apa tipe kepribadian pasangan mereka, dan ternyata banyak diantaranya sesuai perkiraan.
Ini tentu bukan pernyataan mutlak, karena sains pun menyatakan bahwa dirinya tidak bisa mencapai keadaan ideal sehingga dimaklumi jika terdapat kesalahan.
Saya kira, ada banyak pertimbangan lain yang juga harus digunakan selain perbedaan kepribadiaan. Kita juga harus bicara tentang kesamaan-kesamaan yang bisa membentuk visi terbaik pernikahaan, seperti kesamaan pemahaman agama, minat tertentu, dan tujuan hidup tertentu. Ini tentu tidak merujuk suku atau ras tertentu sehingga pilihan yang berhubungan dengan hal tersebut tak harus menjadi kriteria utama. []