Pada dasarnya saya tidak terlalu tertarik untuk membahas program kerja dari Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia. Alasan mendasarnya adalah karena Mendikbud adalah jabatan fungsional untuk membantu Presiden RI, sedangkan Sang Presiden tak menjadikan reformasi kebijakan pendidikan sebagai prioritas kepemimpinannya.
Namun meskipun begitu, ada salah satu hal yang menarik perhatian saya menilik di awal kepemimpinannya sebagai menteri.
Nadiem memahami bahwa dirinya tak memiliki kecakapan akademis dalam bidang pendidikan. Dia juga mengetahui bahwa dirinya akan memimpin orang-orang yang jauh lebih mengetahui urusan teknis persekolahan dan administrasinya. Ia juga sadar akan menjadi atasan bagi banyak orang senior di lingkungan kerjanya. Karenanya, ia memilih untuk tidak membuat program 100 hari pertama yang populer di kalangan pejabat negara.
Pada awal masa jabatannya, Nadiem milih menerapkan salah satu sifat penting kepemimpinan: Mendengar. Jika Agus Salim mengatakan
leiden is lijden, memimpin adalah menderita, maka saya juga ingin mengatakan bahwa memimpin adalah mendengar.
Mendengar adalah ikhtiar untuk mengidentifikasi masalah, memahami keadaan, dan mendekatan hubungan secara personal dengan tim yang dipimpin. Dengan mendengar, pemimpin akan merumuskan kebijakan terbaik demi menyelesaikan berbagai persoalan serta membangun kerja tim yang baik pula.
Nadiem memilih bertemu dengan 22 organisasi guru dan mendengar banyak keluh kesah dari mereka. Dengan proses mendengar dalam awal masa kepemimpinannya, akhirnya Nadiem memahami bahwa kebutuhan mendesak untuk perbaikan pendidikan saat ini adalah pemangkasan jumlah mata pelajaran, penghapusan UN, dan perbaikan kesejahteraan guru terutama honorer. Semua catatan itu akan dipadukannya dengan permintaan presiden untuk peningkatan kualitas pembelajaran yang diintegrasikan dengan teknologi.
Lawan dari mendengar adalah bicara. Sifat kepemimpinan yang dibangun oleh intensitas bicara yang banyak lewat instruksi dalam segala hal cenderung melahirkan sifat kepemimpinan otoriter. Tingkat kepemimpinan paling rendah dari ini adalah memberi instruksi atas dasar ketidaktahuan dan pemahaman subyektif serta tendensius.
Saya teringat pemaparan Anis Matta tentang memimpin di jalan otoritarianisme. Dalam membangun infrastruktur atau sarana publik, suara-suara rakyat harus dikurangi yang dengannya pembangunan berjalan lancar namun harus mengorbankan demokrasi. Sebaliknya, membangun manusia berarti membiarkan rakyat berbicara dan berkeluh kesah sehingga demokrasi harus diberi jalan selebar-lebarnya.
Presiden Amerika Serikat ke-36, Lyndon B. Johnson (1908-1973), juga pernah mewasiatkan, “Anda tidak akan pernah belajar apa-apa jika anda terus bicara.” []