Lelaki tua itu duduk di meja penghakiman. Dilihatnya sang Hakim Agung dan diamatinya para hakim juri yang akan memberikan putusan kepadanya. Setelah mengamati sejenak, lelaki tua agak tambun itu mengerti bahwa putusan untuknya telah ada sebelum sidang dimulai. Karenanya, ia lebih memilih untuk mengungkapkan pemikiran dan keresahannya di hadapan hadirin daripada membuat pembelaan.
Lelaki tua itu adalah Sokrates, dan dia sedang diadili karena dianggap telah membuat ‘kekacauan’ di ruang publik.
Saat itu filsafat di Athena sedang mengalami keterpurukan. Orang-orang tak lagi mengajarkan pemikirannya untuk mencari kebenaran sejati, melainkan mencari penghasilan dengan menarik biaya bagi orang yang belajar padanya. Murid-murid mereka adalah para pengusaha yang memiliki banyak waktu luang karena pekerjaannya sudah ditunaikan oleh budak-budaknya.
Tak hanya itu, paham sofisme pun mulai merebak. Orang-orang tak lagi mencoba mencari kebenaran seputar kehidupan. Kebenaran sudah dianggap subyektif dimana seseorang dianggap benar dengan melihat seberapa kuat argumennya dan seberapa hebat retorikanya. Karenanya, kebenaran seorang guru belum tentu sama dengan kebenaran guru lainnya. Karena itu juga, rasa tanggungjawab atas kebenaran apa yang disampaikan menjadi hilang.
Di tengah suasana seperti itu, Sokrates menjalani hidupnya dengan berdialog bersama banyak orang dengan berbagai latar profesi dan tingkat pendidikan. Mulai dari yang miskin hingga kaya. Dari anak muda hingga orang tua. Setiap hari ia berjalan ke setiap sudut kota, bertanya tentang apa yang dilakukan oleh orang yang ditemuinya. Setiap pertanyaan ditimpali oleh pertanyaan yang lebih mendalam. Semua pertanyaannya diajukan murni karena rasa ingin tahunya.
Sokrates percaya bahwa pengetahuan bisa didapatkan dengan cara bertanya-jawab. Dengan jalan itu pula seseorang juga akan memiliki rasa tanggung jawab atas pengetahuan yang dimilikinya. Dari sinilah istilah dialektika dimunculkan.
Sesekali Sokrates berdebat dengan para guru sofis. Dirinya sering ditertawakan akibat bagusnya retorika sang guru sofis, namun pada suatu titik Sokrates bisa membuat lawannya tak berkutik karena tak bisa menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dan semakin mendalam. Retorikanya hilang dan sang guru sofis pun mengakui ketidaktahuannya.
Sokrates begitu dicintai pemuda-pemuda Athena. Juga sebalikya, ia memiliki musuh-musuh dari kalangan pengikuti guru sofis terutama mereka yang berpolitik. Suatu ketika, Sokrates diajukan ke muka pengadilan rakyat atas dua tuduhan. Pertama, Sokrates dianggap menyangkal keberadaan dewa-dewa yang diakui oleh negara. Kedua, dirinya dianggap merusak pemikiran para pemuda dengan ajarannya.
Dirinya mengetahui bahwa percuma memberikan pembelaan atas apa yang dituduhnkan kepadanya karena ‘keputusan pengadilan sudah ditetapkan sebelum sidang dimulai’. Ia juga tak tak mau mengiba, menjilat, atau mengambil hati sang hakim supaya ia dibebaskan. Pada akhirnya, Sokrates hanya mengatakan bahwa ia sudah melakukan hal yang benar dan seharusnya negara memberi hadiah untuknya. Bagi negara yang mengagungkan pemikiran, tentu Sokrates dianggap sebagai guru sesat.
Para hakim tersinggung dan keputusan pun ditetapkan. Sokrates harus dihukum mati dengan cara meminum racun. Menghadapi hal itu, dirinya tak gentar dan tetap pada pendiriannya.
Pada hari-hari menjelang pelaksanaan hukumannya, Plato sebagai murid yang sangat mencintai gurunya bersama beberapa orang mengajak Sokrates untuk kabur dan menjalani hidup baru di tempat lain. Sebelum niat itu terlaksana, Sokrates mengajak sang murid dan lainnya berdiskusi tentang alasan logis apa yang membuatnya harus kabur. Bagaimanapun, Sokrates adalah orang yang mencintai negerinya dan taat kepada undang-undang yang berlaku, selain itu ia juga tak punya alasan kuat untuk kabur dan menghindari hukumannya. Pada akhirnya ia memilih untuk tinggal dan menjalani hukuman.
Hari penghakiman tiba. Segelas racun sudah disiapkan untuknya. Saat itu, Plato dan beberapa pengikut setia Sokrates berada di dekatnya untuk menjadi saksi akhir kehidupan sang guru. Plato yang saat itu masih berumur sekitar 20 tahun pun menggambarkan perasaannya.
“Aku menangis bukan karena mengasihani dia yang segera bertemu ajal. Aku menangis karena memikirkan bagaimana kelak hidupku tanpa dirinya membersamaiku. Kami semua menangis seperti pengecut sedangkan ia duduk tenang menjemput maut.”
Sokrates meninggal dengan tenang. Ajaran utamanya diidentifikasi dengan “Ilmu adalah budi”, seseorang yang berilmu sudah selayaknya berperangai baik. Ia juga mempunyai andil besar dalam membuka jalan revolusi filsafat dari filsafat alam yang membahas alam semesta menjadi filsafat klasik yang membahas manusia dan kemanusiaan. []