Kami memiliki seorang teman. Teman sekelas dan teman seperjuangan. Ia begitu bersemangat dan ramah kepada siapapun yang ditemuinya. Terkadang ia menjadi perhatian dosen kami saat presensi awal kuliah karena nama belakangnya, ‘Amatillah’.
Pada suatu hari menjelang Pemira kampus, melalui musyawarah mufakat, ia direkomendasikan menjadi calon wakil Presiden BEM mendampingi teman kami lainnya. Ini adalah amanah, yang pastinya kami juga ikut mengembannya. Saya pun turut serta menjadi bagian tim sukses.
Belum juga persiapan matang, cobaan datang untuk dirinya. Penyakitnya kambuh lebih parah dan kami tak bisa memaksakan dia untuk hadir membersamai kami. Pada akhirnya kami membiarkan capres kami hadir sendirian didampingi tim kami dalam berbagai forum dan silaturahim.
Kami memasang spanduk, menempel pamflet, menyiapkan segala media, dan mengatur teknis kampanye tanpa kehadirannya. Sembari melakukan itu semua, kami terus menunggu perkembangan kesehatannya dan berdoa yang terbaik. Teman kami dikelas juga selalu berhubungan dengan dia, sesekali menjenguknya saat sempat.
Kampanye kami lalui tanpa dirinya. Saat berkeliling fakultas dan saat mengunjungi kampus 2 dan 3. Pun begitu, ketika kami mengingat tentang dirinya, aura semangatnya seperti mengalir kepada kami seolah-olah ia sedang bersama kami saat itu.
Hingga hari perhitungan suara tiba, kami tak juga menemui kabar baik. Luar biasanya, kami bisa mendapat suara terbanyak di fakultas kami. Di luar perkiraan. Padahal salah satu pasangan calon keduanya berasal dari fakultas kami juga, mereka mendapat suara terendah. Teman-teman kami memang mengakui watak muamalahnya yang baik. Suara yang datang kepada kami setidaknya berasal dari ikatan itu, termasuk dari mereka yang seharusnya menjadi lawan besar kami di fakultas.
Meskipun pada akhirnya kami tidak bisa menang, tak ada rasa kecewa yang hadir. Kami semua puas dengan segala upaya dan ikhtiar kami.
Teman kami itu masih terbaring tak berdaya hingga hari-hari setelah Pemira usai. Qadarullah, beberapa bulan kemudian Allah mengambilnya kembali ke hadirat-Nya. Rupanya Allah lebih menyayanginya daripada kami semua di sini. Ucapan bela sungkawa hadir, termasuk dari mereka yang dulu menjadi lawan kami. Kami mengenangnya sebagai salah satu teman terbaik yang tegas pada waktunya, lembut pada waktunya, dan cerdas pada waktunya.
Kini 5 tahun & 6 hari berlalu sejak Pemira itu. Juga sekitar 4 tahun & 3 bulan dari kepergiannya. Kami terus mengenangnya namun tak bisa terus meratapi, apalagi berharap kepada sesuatu yang tidak mungin terjadi. Kami hanya bisa berdoa semoga ia ditempatkan pada posisi terbaik di sisi-Nya.
Justru kamilah yang harus mengasihani diri sendiri. Kematian begitu dekat mengintai sedangkan tak juga kami temukan amal terbaik untuk dibanggakan. []