John Wood adalah orang beruntung yang diberkahi kehidupan layak sedari lahir. Ayahnya adalah pensiunan tentara yang mendapat tunjangan hidup tinggi dari pemerintah Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. John pun menerima pendidikan layak hingga lulus dengan gelar BSc dari Universitas Colorado dan MBA dari Northwestern University.
Karirnya juga terbilang cemerlang. Ia mengemban jabatan penting seperti Direktur Pemasaran Regional di Microsoft untuk waktu sekitar sembilan tahun. Hidupnya serba berkecukupan dan tak perlu mengawatirkan masa depan karena kinerjanya yang cekatan.
Tulisan ini tidak sedang membahas tentang John Wood dan segala kelebihan finansial dan karir yang dimilikinya. Ini adalah kisah tentang seorang pria berusia 35 tahun yang rela melepaskan jabatan tingginya demi satu tujuan: mendirikan sepuluh ribu perpustakaan di negara-negara miskin.
Dari Lereng Himalaya
Pada suatu hari, John sedang merencanakan perjalanan liburannya, dan yang dipilihnya adalah pendakian ke Himalaya. Ia melakukan segala persiapan dan kemudian melakukan perjalanan menuju Sydney, dilanjutkan ke Singapura, hingga akhirnya tiba di Nepal.
Ia melewati perjalanan panjang setelah tiba di Nepal menggunakan bus dengan suasana yang berbeda dari apa yang dirasakannya selama ini, terutama tentang keadaan alam dan keramahan setiap manusia yang ditemuinya.
Pada suatu hari, John sudah sampai di daerah Bahundanda. Ia mampir ke sebuah warung kecil dan berhadapan dengan pramusaji cilik yang cekatan. Ia berbincang ringan dengan seorang warga lokal tentang kultur masyarakat di daerah tersebut sambil menikmati makanan khas daerah tersebut dan menikmati keadaan alam. Siapa sangka, perbincangan biasa itu nantinya berlanjut menjadi perbincangan penting dan menghasilkan program besar yang berlaku selama lebih dari satu dekade.
Pria yang berbincang dengan John adalah Pasupathi Neupane dan ia merupakan pegawai Departemen Pendidikan yang ditugaskan pada provinsi yang ia tinggali saat ini. Setelah berbincang-bincang, Pasupathi menawari John untuk mengunjungi sekolah-sekolah yang berada di kawasan tandus dan kering dengan kondisi geografis yang sulit itu. John pun menerima tawaran tersebut.
Saat sudah sampai di salah satu sekolah, John mengamati setiap bagian dan ruang sekolah. Apa yang dilihat John Wood saat itu nantinya akan merubah pandangan dan tujuan hidupnya. Gedung sekolah yang bobrok, murid yang berdesak-desakan di kelas, dan atap seng yang terpanggang matahari adalah pemandangan wajar di sekolah itu. Yang paling mengenaskan adalah ruang perpustakaan.
John adalah orang yang memiliki minat membaca yang berasal dari ibunya. Ia sangat tertarik mengunjungi dan melihat buku-buku di perpustakaan sekolah itu. Namun apa yang menjadi ekspektasinya tak terbukti sama sekali. Di depan ruang itu ada plang bertuliskan perpustakaan, namun isinya tak mencerminkan seperti apa perpustakaan itu. Tak ada rak buku, tak ada meja baca, dan tak ada penerangan. Yang paling mengenaskan: tak ada buku! Kalaupun ada, buku itu merupakan pemberian pendaki yang melewati desa itu namun buku yang ada ditulis dengan bahasa berbeda sehingga tidak ada yang mengerti. Buku-buku itu juga disimpan rapi di pojok ruang.
Di akhir kunjungannya, sang kepala sekolah yang menemani John sedari tadi mengatakan sesuatu yang menjadi titik awal munculnya ide besar John: "Barangkali suatu hari nanti Anda datang kesini lagi untuk membawa buku."
Sepuluh Ribu Perpustakaan
John terus memikirkan pengalamannya di Nepal itu. Enam bulan pasca kunjungan pertamanya, John mulai mengumpulkan buku-buku, mengajak ayahnya dan keluarga terdekat untuk terlibat didalamnya. Bahkan, keponakannya yang berusia 8 tahun juga ikut melakukan penggalangan buku di sekolahnya. Saat itu, dirinya masih terikat dengan pekerjaan dan terkadang membuat atasannya jengkel karena tiba-tiba ia menghilang dan ternyata sudah berada di Nepal untuk memberikan buku yang telah dikumpulkannya.
Bagi John yang memiliki banyak uang dan teman, mengumpulkan seribu buku untuk donasi pertamanya adalah hal yang mudah. Saat menyerahkan donasi pertamanya itu, ia mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat di daerah tersebut dengan upacara sederhana yang dihadiri banyak orang.
Pada akhirnya, John membuat keputusan besar dengan berhenti dari pekerjaannya untuk kemudian mendirikan yayasan 'Room to Read'. Ia sepenuhnya mendedikasikan diri dan waktunya untuk membangun literasi di negara-negara miskin. Tentu saja saat memutuskan berhenti bekerja ia akan kehilanggan sumber penghasilan yang cukup besar itu.
Dengan uang dan jaringan yang dimilikinya, John mulai mengumpulkan donasi buku dan dana operasional kegiatannya. Banyak sekolah di Nepal yang kemudian menjadi sasarannya. Mulai dari pemenuhan perpustakaan hingga membangun perpustkaan baru di banyak sekolah di Nepal.
Ia juga membuat program khusus yang diberi nama 'Program Hibah-Tantangan' sejak tahun kelima Room to Read. John menantang penduduk setempat untuk menghibahkan apa yang dimilikinya demi membangun perpustakaan bahkan sekolah baru di daerah mereka. Kepercayaan masyarakat kepada John membuat program ini mendapat sambutan hangat. Banyak orang yang menghibahkan hewan ternak dan hasil panen tanaman untuk ditukar dengan bahan bangunan. Mereka menyediakan lahan kosong dan seluruh pekerjaan mendirikan bangunan juga dilakukan oleh warga setempat tanpa bayaran sepeserpun.
Di satu sisi, program semacam ini akan menghemat pengeluaran sehingga ada lebih banyak dana yang difokuskan untuk menyediakan buku. Di sisi lain, melibatkan masyarakat secara langsung dalam hal ini juga akan membuat masyarakat merasa ikut memiliki sarana tersebut yang kemudian juga akan membuat mereka berusaha untuk merawatnya.
Room to Read juga menyediakan beasiswa khusus bagi perempuan untuk bersekolah. Di negara miskin seperti Nepal, perempuan sudah terbiasa mendapat diskriminasi dalam pendidikan dan hanya diberikan peran untuk menyelesaikan pekerjaan keseharian di rumah.
Singkat cerita, program Room to Read berkembang dengan pesat hingga mampu mendirikan banyak perpustakaan baru atau menyumbangkan banyak buku di perpustakaan sekolah. Room to Read juga mampu melebarkan ekspansinya hingga menjangkau negara-negara miskin lainnya seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja, dan beberapa negara di Afrika. Dalam waktu satu dekade, Room to Read telah berpartisipasi dalam mengembangkan dan mendirikan sepuluh ribu perpustakaan di beberapa negara miskin.
Tantangan Room to Read
Dalam menjalankan programnya, tentu ada banyak tantangan yang mesti dihadapi dan sering diantaranya tidak bisa dihindari. Konsekuensi keluar dari perusaahaan semacam Microsoft adalah pendapatan yang menurun drastis atau bahkan tidak ada sama sekali. John pada awalnya mengandalkan tabungannya, dan kemudian harus berpikir untuk mencari penghasilan bagi dirinya sendiri.
Ada banyak tantangan lain yang dihadapi John dan timnya di Room to Read untuk mengembangkan literasi di negara miskin. Pertama, buku sumbangan yang ia terima kebanyakan berbahasa Inggris, sehingga hanya mampu memahami gambar, namun kurang bisa menerjemahkan teks. Pada akhrinya, keadaan ini membuat John harus bekerja keras untuk membuka percetakan buku sendiri, karena sulitnya menemukan percetakan di Nepal. Tantangan berikutnya adalah mencari penulis bukunya. Ia dan timnya sampai harus menelusuri seluruh Nepal untuk mencari penulis yang kemudian bukunya bisa dicetak dalam jumlah besar.
Tantangan berikutnya datang dari timnya sendiri. Saat Room to Read mulai berkembang, salah satu anggotanya pernah membawa kabur uang sumbangan dari donatur salah satu perusahaan besar di AS. Saat itu John yang berada di Thailand, tidak bisa tidur selama semalaman dan kemudian langsung menuju AS pada pagi harinya untuk menemui pimpinan perusahaan yang baru saja menjadi donaturnya itu. Ia meminta maaf secara langsung dengan wajah sangat malu kepada donaturnya itu. Namun kejadian seperti ini membuat John belajar untuk lebih selektif dalam mencari anggota timnya dan melakukan pengorganisasian yang lebih rapi.
Pernah juga pada suatu lelang donasi di AS, seseorang berjanji menghibahkan dana paling tinggi diantara semua orang yang hadir di acara itu. Ia meminta namanya dicatatkan sebagai donatur dengan nominal donasinya untuk kemudian disebarkan dalam pemberitaan. Namun ketika uang donasi itu ingin diambil oleh tim John, orang tersebut sulit dihubungi dan bahkan tidak bisa ditemui. Waktu pun berlalu hingga beberapa bulan namun donasi itu tak juga dihibahkan ke Room to Read.
Kenapa Room to Read bisa berkembang?
Normalnya, orang akan mengatakan bahwa keberhasilan orang seperti John Wood untuk mengembangkan dan mendirikan hingga sepuluh ribu perpustakaan, ratusan sekolah, dan memberikan ribuan beasiswa adalah karena uang yang dimilikinya. Namun ini tak sepenuhnya benar karena total kebutuhan pengembangan program, perawatan, sampai gaji karyawannya di Room to Read bisa jadi malah membuatnya memiliki hutang besar jika ia hanya mengandalkan uang yang dimilikinya.
Mengembangkan proyek sebesar melalui wadah Room to Read tak cukup hanya mengandalkan dana besar. Lalu apa saja yang membuat John Wood bisa bertahan dan mengembangkan programnya?
Pertama, John Wood punya jaringan yang besar. Pada dasarkrnya senjata utama John Wood dalam mengembangkan Room to Read adalah orang-orang yang dapat diandalkan sebagai donatur dan rekan kerja profesional. Saat Room to Read sudah mapan secara organisasi, John Wood mencoba menantang orang-orang progresif yang punya tujuan jangka panjang untuk mengembangkan literasi negara miskin.
Sebagai organisasi non-profit, Room to Read tidak menjanjikan gaji yang besar. Namun, John memberikan tantangan besar bagi setiap orang yang tertarik bergabung dengannya.
Kedua, masyarakat negara miskin cenderung mendukung bahkan mau berkorban ketika ada seseorang yang dengan sukarela mau membantu mereka, demi perbaikan kualitas hidup mereka sendiri. Ini adalah kultur khas. Mereka begitu bersemangat dalam upaya untuk melakukan sesuatu yang baru. Apalagi, tidak menuntut bayaran jika harus terlibat langsung dalam kegiatan.
Ketiga, Program Hibah-Tantangan memberikan rasa kepemilikian bagi masyarakat dimana program Room to Read dikembangkan. John tidak ingin menjadikan masyarakat sebagai obyek kegiatannya. Ia tidak ingin mereka duduk manis dan menerima suapan darinya.
Keempat, Organisasi tim yang Rapih. John hanya merekrut orang-orang yang tertantang dengan visi Room to Read. Fakta bahwa ia pernah dikhianati karyawannya yang membawa kabur uang donasi, tidak melunturkan semangatnya. Justru membuat dia lebih berhati-hati mencari rekan kerja. John menawarkan tantangan bagi setiap orang yang ingin bergabung dengannya, bukan gaji. Karenanya, rekan John terbiasa dengan situasi-situasi sulit.
Terakhir dan yang paling penting, John adalah pecandu buku. Ia menikmati setiap kunjungannya di perpustakaan-perpustakaan baik di pusat kota maupun di pelosok terpencil. Kecintaannya pada buku datang dari ibunya yang merupakan pembaca buku yang rakus. Karena peran orangtuanya yang sangat besar bagi John, ia mengajak secara langsung keduanya untuk turut hadir meresmikan perpustakaan ke sepuluh ribu dari Room to Read. []
Ringkasan dari buku
Room to Read (versi Indonesia: Mengembangkan Ruang Baca) yang ditulis oleh John Wood.
Tebal : xxiv + 422 halaman