Sayyid Qutb, cendekiawan muslim itu punya pikiran yang tajam dan pemahaman yang luas atas banyak hal. Saya lebih suka menyebutnya sebagai cendekiawan daripada ulama, oleh karena pengetahuannya yang tak sebatas masalah syariah dan ibadah, tapi juga sastra, pendidikan, dan politik. Juga karena jalan hidupnya yang tak hanya dihabiskan di mimbar masjid tapi juga mimbar akademik.
Daripada mengikuti jalan ulama besar seperti Syeikh Yusuf Qardhawi ataupun Syeikh Sudais sang imam besar Masjidil Haram, saya lebih suka meneladani orang-orang seperti Sayyid ini. Bukan karena tidak mau, tapi lebih layak disebut tidak bisa. Jalan yang saya tempuh bukanlah jalan lurus, jalan yang disebut orang-orang akan selalu mendekatkan pada harumnya surga. Dari sekian banyak orang yang mendakwah tentang ibadah, syariah, dan fikih, harus ada orang yang menelaah sesuatu yang oleh Al Ghazali disebut sebagai ilmu muamalah bagian Ilmu fardhu kifayah ghairu syariyah.
Tapi Sayyid adalah orang yang taat beragama, tumbuh di lingkungan keluarga yang memegang erat Alquran, dan menjadi penghafal Alquran sejak kecil. Sayyid juga punya karya besar Fi Zhilalil Quran, yang sebenarnya lebih cocok disebut telaah kritis atau komentar terhadap Alquran daripada kitab tafsir. Sayyid adalah orang yang saya kagumi, meskipun dasar Islam yang saya miliki tak seperti miliknya.
Untuk jalan yang seperti ini, saya mencoba mengikuti Sayyid.
Namun cerita Sayyid bukan hanya tentang ideologi, pergerakan, dan reformasi Islam di era kontemporer. Sayyid juga punya kisah asmara yang sayangnya tak secemerlang pemikirannya. Bukan cuma sekali, tapi ia dua kali dibuat takluk dan kemudian patah hati oleh wanita.
Cinta pertamanya adalah seorang gadis yang berasal dari desa kelahirannya. Namun kebutuhan akan pendidikan membuat Sayyid harus menetap di Kairo, meninggalkan desanya dan jauh dari gadis itu. Tiga tahun berlalu dan Sayyid mendapati kabar sang gadis lebih memilih orang lain sebagai pendamping hidupnya yang kemudian membuatnya terpuruk.
Gadis kedua yang membuat Sayyid jatuh hati berasal dari Kairo. Ia menggambarkan gadis itu sebagai seseorang yang memiliki paras yang tidak terlalu buruk namun tak layak pula disebut cantik. Ada alasan lain yang kemudian membuat Sayyid menambatkan cinta padanya. Namun sekali lagi Sayyid harus tinggal jauh dari gadis itu. Hingga pada akhirnya, Sayyid mengorbankan idealismenya dan kemudian pergi menjemput gadis itu. Namun sayang, gadis itu kemudian menolak cinta Sayyid.
Bukan Sayyid Qutb namanya kalau terpuruk selamanya karena gagal dalam kisah asmara. Sayyid bangkit lagi dan memutuskan menghabiskan seluruh hidupnya tanpa wanita yang menemani di sisinya. Sayyid melanjutkan hidup sambil berkelakar bahwa ia harus berdamai dengan dirinya sendiri dalam hal status lajangnya itu. Di kemudian hari hingga penghakiman hidupnya, ia terus menjalankan perjuangannya bersama Ikhwan.
Bagi orang seperti Sayyid yang memilih pemahaman kuat dan idealisme tinggi, hidup membujang seumur hidup bukanlah halangan untuk terus berkembang. Di banyak tempat dan kisah lain, para ulama dan cendekiawan juga tak sedikit yang hidup membujang demi mengembangkan ilmu. Seorang ulama besar seperti Imam Syafi’i pun juga hanya memberi dua syarat bagi siapapun yang ingin menjadi istrinya: bersedia untuk sering ditinggal dan mau menyajikan makanan bagi murid-muridnya yang sedang belajar.
Saya mungkin mengatakan bahwa mengikuti pemikiran Sayyid adalah sesuatu yang baik. Tapi memilih jalan untuk hidup sendiri oleh karena gagal atau tak sempat menemukan pendamping hidup, rasanya menjadi terlalu naif. Saya bukan orang yang seperti itu, orang yang siap menjalani hidup sendiri dan melakukan banyak hal besar seorang diri. Karenanya, saya tidak ingin menjadi orang yang gagal dalam menemukan pendamping hidup yang tepat di kemudian hari. Termasuk dalam kegagalan menemukan pendamping hidup yang tepat adalah jika kemudian memilih pasangan untuk tujuan kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri.
Untuk jalan hidup yang seperti ini, dengan segala hormat, aku tak bisa dan tak akan mengikutimu Sayyid!