Remaja laki-laki yang tumbuh sekitar sepuluh tahun lalu banyak yang menggemari salah satu film asal Jepang, judulnya Crows Zero. Film ini berkisah tentang sekolah bernama Suzuran yang berisi murid-murid 'buangan' yang dipandang hina dan tak memiliki masa depan. Guru yang tak dihargai, perkelahian setiap hari, dan ketidakpedulian terhadap prestasi akademik adalah sedikit gambarannya.
Bagaimana jika cerita yang seperti itu di terjadi di dunia nyata? Sepertinya tidak mungkin! Tapi nyatanya, ada banyak cerita mirip yang dapat ditemui di sekolah SMP ku dulu, tentunya dengan kisah yang lebih sederhana. Semasa SMP dulu sudah biasa terjadi pemalakan, perkelahian antarsiswa, melawan guru, perkelahian antarsekolah, dan lain sebagainya.
---
Saya adalah anak pendiam dengan lingkaran pertemanan yang kecil sejak masuk SMP. Awal cerita, terjadi 'kecelakaan' ketika memilih saya sebagai ketua kelas. Sebagian anak laki-laki di kelas saya bisa dikategorikan sebagai 'preman', atau setidaknya masuk ke dalam lingkaran kelompok murid 'preman' di sekolah. Hampir setiap hari di sekolah ada pemalakan, perundungan (bullying), dan perkelahian. Salah satu anak laki-laki yang punya orang tua cukup mapan di kelas selalu menjadi sasarannya.
Sebagai seorang pendiam yang tidak masuk lingkaran pertemanan seperti itu, saya sebenarnya termasuk orang yang layak menjadi korban perundungan, pemalakan, bahkan kekerasan fisik itu. Namun itu semua tidak terjadi -atau lebih tepatnya hampir tidak pernah terjadi-- selama bersekolah.
Mereka tidak melakukan kekerasan fisik, tidak pernah merundung, dan hampir tidak pernah dipalak. Barangkali karena kasihan, tapi sepertinya bukan itu satu-satunya alasan.
Saya termasuk orang yang biasa diandalkan soal pelajaran di kelas, terutama bidang matematika. Dalam suasana sekolah yang begitu kelam, sangat sulit memang mencari anak laki-laki yang punya keseriusan dan prestasi akademik. Barangkali itulah yang membuat beberapa anak laki-laki di kelas sering minta bantuan mengerjakan tugas atau menyontek pekerjaan saya. Saya pun dengan senang hati membantunya, karena ternyata dengan begitu telah terjadi simbiosis mutualisme diantara kami. Mereka terkadang 'melindungi' saya supaya tidak menjadi korban perundungan dan pemalakan dari kakak kelas.
Kami sering ngobrol dan bercanda, meskipun kadang saya merasa aneh. Mengetahui fakta bahwa mereka adalah orang yang terbiasa berkelahi, berbicara kasar, dan memalak orang, namun sangat bersahabat di sisi lain. Kami memiliki karakter yang sangat berbeda.
---
Ada satu cerita yang paling saya ingat dari kisah saat SMP itu. Suatu ketika, seseorang menyewa bagian depan rumah yang memang agak luas untuk dijadikan tempat bimbel. Beberapa orang teman yang preman kelas itu mengajak saya untuk belajar bersama pada malam hari menggunakan papan dan kursi milik bimbel itu. Beberapa kali mereka datang ke rumahku. Mereka naik sepeda pancal berboncengan menempu jarak yang lumayan untuk ke rumah saya.
Ada rasa haru yang kemudian menyelimuti diri ini. Orang-orang seperti mereka yang sebenarnya 'tidak punya kepentingan' dengan prestasi akademik ternyata punya kemauan juga untuk belajar. Meskipun pada akhirnya, di tahun-tahun berikutnya, hingga kini secara akademik mereka biasa saja, setidaknya saya belajar bahwa kemauan untuk belajar itu bergantung pada beberapa hal: lingkungan tinggal, pertemanan, serta kemauan dari diri sendiri.
Bagaimanapun, berada di lingkungan yang kurang mendukung memang membuat sulit untuk berkembang. Namun, ada banyak hikmah yang bisa diambil dari kondisi semacam itu. []
More From Author
Cerita