(kissfromtheworld.com)
Elea adalah kota besar dengan banyak kuil, pelabuhan, dan tembok pertahanan sepanjang beberapa mil. Kota ini merupakan tempat perantauan orang-orang Yunani yang terletak di sebelah selatan Semenanjung Italia. Filsafat di Elea berkembang mulai tahun 540 hingga 460 SM dengan tokoh-tokoh utamanya adalah Xenophanes, Parmenides, Zeno, dan Melissos.
Para filusuf di Elea secara khusus memusatkan perhatiannya mengenai ‘Yang Ada’. Sesuatu ‘Yang Ada’ merupakan entitas yang setara dengan Tuhan dalam pengertian lain. Ia tidak berubah-ubah dan tidak dapat dirupakan dengan indera. Dengan pembahasan filsafat alam yang secara khusus membahas penciptaan alam dengan ‘Yang Ada’ sebagai permulaannya, maka secara tidak langsung filsafat di Elea memiliki karakteristiknya sendiri dan berbicara tentang konsep ketuhanan dan hakekat penciptaan.
Secara umum, filsafat Eleatisme menolak pendekatan empiris para filusuf Melitos seperti Thales dan Anaximenes yang mengatakan permulaan dari alam semesta adalah air dan udara. Gagasan Parmenides juga berkebalikan dengan Anaximandros dengan apeiron-nya.
Xenophanes (580-470SM)
(britannica.com)
Xenophanes merupakan seorang perantauan dari Kolofon (Colophon) yang meninggalkan tanah kelahirannya yang dirampas Persia menuju Elea pada saat berusia 25 tahun. Di tempat perantauan, ia mendapatkan penghasilan dari menyanyi dan melantunkan syair penuh makna.
Xenophanes dikenal sebagai orang yang taat beragama. Ia menyanyikan lagu-lagu dengan tujuan untuk mengajak orang-orang mengikuti jalan yang digariskan agama. Syair-syair yang dilantunkan menentang adanya tahayul yang banyak dipercayai masyarakat. Saat itu, masyarakat di sana percaya bahwa Tuhan ada banyak dan masing-masing mencerminkan perbuatan manusia, seperti Tuhan sebagai kepala pencuri, pembengis, dan lain-lain.
Xenophanes mengajarkan bahwa Tuhan hanya ada satu. Tuhan memiliki sifat yang lebih agung dari manusia, berbeda dari makhluk, dan memiliki pemikiran yang berbeda dengan manusia. Karenanya, Tuhan harus mendapat pujian-pujian yang baik.
Ketaatannya kepada agama yang dianut memengaruhi pandangan Xenophanes tentang penciptaan alam. Xenophanes mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta ini.
Xenophanes memberi pengaruh besar terhadap perkembangan filsafat alam di Elea. Filsafat di Elea memiliki coraknya sendiri, dimana Xenophanes merupakan pencetusnya. Sayangnya, ia tak dianggap sebagai guru utama karena ajarannya tidak tersusun dalam bentuk tulisan dan tidak terstruktur. Parmenides-lah yang kemudian dianggap sebagai guru utama filsafat Elea.
Parmenides
(history-biography.com)
Parmenides lahir pada sekitar tahun 540 SM. Ia merupakan seorang ahli politik dan pernah duduk di jajaran pemerintahan. Namun nama Parmenides menjadi besar bukan karena jabatan publiknya, ia sangat dikenal sebagai pemikir besar yang kemampuannya melebihi siapapun pada masanya.
Parmenides tertarik dengan syair-syair yang dilantunkan Xenophanes. Ia setuju dengan Xenophanes tentang sesuatu ‘Yang Ada’. Jika Xenophanes mengatakan bahwa sesuatu ‘Yang Ada’ itu merupakan kesatuan antara Tuhan dan Alam, maka Parmenides mengatakan bahwa ‘Yang Ada’ itu memang Ada-nya yang sepenuh-penuhnya, Tuhan yang berdiri sendiri.
Yang Ada itu disebutkan memiliki kebenaran yang mutlak dan sebenar-benarnya. Sebaliknya, pendapat manusia yang merupakan entitas Yang Tidak-Ada tidak menyimpan kebenaran yang sesungguhnya dan memuat prasangka belaka. Kebenaran dari Yang Ada dan prasangka dari manusia ini kemudian memberi garis pemisah antara pengetahuan (tahu) dan prasangka (menduga). Pernyataan Parmenides ini kemudian menjadi jalan berkembangnya ilmu logika.
Pernyatannya tentang Yang Ada menimbulkan konsekuensi tentang Yang Tidak-Ada sebagai entitas lainnya, dimana manusia termasuk di dalamnya. Yang Ada itu ada untuk selamanya dan hidup kekal. Ia tidak berubah dan menjadi satu-satunya Yang Ada.
Menurut Parmenides, penglihatan tidak bisa digunakan sebagai sumber kebenaran. Kebenaran hanya akan didapat dengan jalan pemikiran dan tidak bisa didapatkan dengan hanya melihat sesuatu yang nampak. Meskipun Parmenides memiliki jalan pikiran yang sama dengan Xenophenes, namun secara khusus ia mengembangkan pemikirannya sendiri tentang konsep kebenaran.
Ajaran Parmenides berkebalikan dengan apa yang disampaikan Herakleitos. Herakleitos memiliki pandangan tentang dunia yang dinamis dan selalu berubah, sedangkan Parmenides mengatakan bahwa segalanya bersifat tetap. Dalam banyak hal, banyak orang juga yang menentang ajaran Parmenides karena pernyataannya banyak yang tidak sesuai dengan yang nampak dalam kehidupannya. Hal ini wajar mengingat penjabaran konsep pemikiran Parmenides hanya dilakukan dengan menggunakan pemikiran, bukan pengamatan atau eksperimen. Zeno dan Melisos yang merupakan murid Parmenides membuat keterangan lanjutan dan lebih rinci untuk meneruskan ajaran gurunya tersebut serta melawan penentang gurunya.
Zeno
(John Gilbert)
Zeno lahir di Elea sekitar tahun 490 SM. Ia merupakan murid Parmenides dimana ajarannya mulai populer pada tahun 464 SM hingga 460 SM. Sebenarnya, Zeno tidak memiliki pokok ajarannya sendiri. Apa yang disampaikan dan gagasan yang diajukan sebenarnya merupakan bantahan balik bagi orang-orang yang menyangkal ajaran gurunya.
Pemikirannya yang tajam dapat dengan mudah membantunya membantah berbagai pernyataan lawan Parmenides. Terhadap pernyataan yang tidak setuju dengan pendapat gurunya bahwa ‘Yang Ada’ hanya satu dan manusia serta benda-benda lain termasuk ‘Yang Tidak-Ada’, Zeno mengatakan:
“Jika yang ada itu banyak, ia dapat dibagi-bagi. Bagian yang telah dibagi pun juga masih bisa dibagi lagi. Bagian yang sudah dibagi itu juga dapat dibagi lagi. Pada akhirnya, ia nampak begitu kecil sehingga terlihat tidak memiliki besaran (ukuran). Barang yang tidak memiliki besaran, betapapun banyaknya, tidak akan mencapai besar sebuah barang yang memiliki bagunan (ukuran dan isi). Tidak ada besaran yang dapat menambah besar sesuatu, jika ia sendiri tidak memiiki besaran.”
Bantahan lain juga dilayangkan Zeno terhadap orang yang percaya bahwa penglihatan adalah sumber kebenaran hakiki, serta pernyataan bahwa setiap yang bergerak termasuk dalam sesuatu Yang Ada.
Berbagai bantahan Zeno terhadap lawan gurunya ini secara kasat mata terlihat bertele-tele dan dalam beberapa hal bertentangan satu-sama lain. Namun sebenarnya Zeno telah menerapkan ilmu logika pada tingkat yang lebih dalam. Dalil-dalilnya pun menjadi bahan perbincangan lagi para filusuf abad ke-17 dan 18 Masehi.
Melissos
Melissos berasal dari Samos, sebuah kota yang terletak di Yunani kuno. Ia menjadi filusuf yang terkenal di Elea sejak tahun 444 hingga 441 SM. Selain sebagai pemikir, ia juga dikenal sebagai prajurit perang yang turut serta melawan Athena.
Berbeda dengan Zeno yang cenderung sering membantah lawan debat gurunya, Melissos lebih terlihat sebagai murid yang mempertahankan ajaran gurunya dengan mengemukakan alasan yang positif. Cara berpikirnya berbeda dengan Zeno yang menggunakan logika terbalik dan membenarkan pernyataannya sendiri.
Melissos mengatakan bahwa “Yang Ada selalu ada dan akan tetap ada”. Yang Ada itu kekal, sehingga ia tidak mungkin diciptakan oleh Yang Tidak-Ada. Yang Ada juga tidak berubah-ubah, karena tiap-tiap perubahan berhubungan dengan ‘terjadi’ atau ‘hilang’. Yang Ada itu juga bersifat baka, tidak terbatas, satu, selalu sama, tidak bergerak, dan tidak merasa susah (karena bersifat baka).
Melissos berbeda dengan Parmenides soal bentuk dari Yang Ada itu. Parmenides mengatakan bahwa Yang Ada memiliki bangunan yang bulat sebagai wujud kesempurnaan. Sebaliknya, Melissos memiliki pandangan bahwa Yang Ada itu memiliki bentuk yang tak berhingga. Sebab, jika ia berhingga maka konsekuensinya adalah Yang Ada itu juga memiliki permulaan dan akhir, serta dibatasi oleh Yang Tidak-Ada.
--
Filsafat yang berkembang di Elea memiliki pengaruh bagi perkembangan ilmu pikiran di masa setelahnya. Meskipun secara terpintas Filsafat Elea hanya berputar pada persilatan kata para pemikirnya, namun dengan penalaran logika dan persilangan pendapat di dalamnya, membuatnya dianggap sebagai peletak dasar konsep dialektika.
Cara para filusuf Elea dalam mengemukakan pendapat juga dianggap sebagai sesuatu yang baru. Salah satunya karena adanya gagasan tentang Yang Ada, yang tidak memiliki perupaan sesuai dengan benda-benda yang ada. Pemikiran yang tidak mementingkan kepada persoalan yang lahir (dalam kehidupan sehari-hari), membuatnya menjadi pembuka jalan bagi ilmu logika untuk berkembang. []
More From Author
Filsafat