Sofisme telah membuat jalan filsafat berubah dari pembahasan seputar alam semesta menjadi pembahasan tentang manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan dan berkemauan. Namun, jalan baru itu dibuka dengan kaum sofis sebagai tokoh antagonisnya. Pendirian mereka yang skeptis, relatif, dan subyektif menjadi jalan buntu bagi perkembangan pemikiran.
Di saat jalan buntu itulah Sokrates muncul laiknya cahaya dalam gelap gulita. Sokrates tidak membawa jalan pikiran filosofisnya sendiri. Ia tidak memiliki pemikiran terstruktur untuk dijadikan sebagai suatu sistem ide/pandangan. Ia hanya hidup untuk mencari kebenaran sejati dari siapapun yang ia temui melalui dialog.
Pada suatu titik, ia memiliki ketidaksepahaman dengan kaum sofis. Sokrates menyangkal ajaran kaum sofis yang tidak memiliki tanggungjawab atas pengetahuan dan hilangnya kebijaksanaan. Kelak, sistem berpikir Sokrates dkikembangkan secara lebih terstruktur oleh Plato dan kemudian Aristoteles sehingga menjadi suatu sistem yang mapan. Buah pikiran iniberpengaruh setidaknya selama 2000 tahun di Barat.
Sokrates Mencari Kebenaran Sejati
|
(Ilustrasi dari: NYPL Digital Collection) |
Sokrates (490-399 SM) lahir di Athena dari ayah seorang tukang patung dan ibu seorang bidan. Perawakannya berbeda jauh dari gambaran manusia ideal secara fisik saat itu. Ia digambarkan sebagai seorang yang pendek, sedikit gemuk, dan mulutnya lebar. Sokrates hidup pada zaman kedamaian Athena, dimana saat itu sofisme mulai berkembang. Namun pada masa tua Sokrates, ia mendapati negerinya mulai mengalami kemunduran.
Sokrates senang berjalan-jalan dan bergaul dengan orang-orang dengan berbagai latar usia dan pekerjaan. Menurut penuturan temannya, “Sokrates begitu adil sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia begitu cerdiknya, sehingga ia tak pernah khilaf menimbang buruk dan baik.”
Saat berjalan-jalan mengitari berbagai sudut kota, Sokrates selalu mempelajari tingkah laku manusia dari berbagai segi hidupnya. Ia jarang keluar kota dengan alasan “padang rumput dan pohon kayu tak memberikan pelajaran apapun padaku, manusa ada.”
Ia menyatu dengan orang-orang yang berkumpul di tanah lapang, sebentar kemudian berada di pasar, dan selanjutnya menemui para tukang. Sokrates bertanya apa yang sedang mereka lakukan. Pertanyaan mudah yang kemudian disusul dengan pertanyaan lain yang lebih mendalam. Setiap jawaban menimbulkan pertanyaan baru. Semua apa yang ditanyakan murni karena rasa ingin tahu yang mendalam.
Tanggung Jawab atas Pengetahuan
|
(Ilustrasi dari: Qureta) |
Sokrates kerapkali berdialog dengan seseorang yang membanggakan pengetahuannya seakan mengetahui segalanya. Ia menggunakan metode sama, dengan pertanyaan yang lebih mendalam dari setiap jawaban yang diberikan. Pada akhirnya, orang tadi tidak mampu lagi menjawab dan mengakui bahwa ia memiliki kekurangan.
Metode dialog Sokrates secara tidak langsung merupakan bentuk keresahan atas merebaknya sofisme saat itu dengan dalil ‘ kebenaran sejati tidak aka pernah tercapai’. Penyangkalan atas kebenaran sejati membuat rasa tanggung jawab atas pengetahuan menjadi tidak ada dan nilai pengetahuan menjadi dangkal. Guru sofis kerapkali ditantang Sokrates untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Awalnya, Sokrates dipermalukan dengan dalil yang mengagumka, namum kemudian guru sofis terdesak dan mengakui ketidaktahuannya. Pada akhirnya, Sokrates menyimpulkan, “ Begitulah adanya, bahwa kita berdua sama-sama tidak tahu!”
Sokrates mengajak orang-orang untuk memperghitungkan dan bertanggungjawab atas pengetahuannya. Ia selalu berkata bahwa yang ia tahu hanya satu: bahwa ia tidak mengetahui apa-apa. Proses mencari kebenaran dengan jalan bersoal jawab antara dua orang ini menjadi awal mula dikenalnya istilah dialektika.
Ajaran Etika Sokrates
|
(Ilustrasi dari: The Conversation) |
Inti ajaran etika Sokrates adalah ‘Orang yang berpengetahuan dengan sendiri memiliki budi (perangai) yang baik’. Paham etikanya ini merupakan sintesis dari metode dialognya. Dari berpengetahuan, orang akan mengalami keinsyafan moril dan kemudian timbullah budi yang baik.
Jika tahu dan berbudi adalah kesatuan yang saling berpaut, maka kejahatan adalah sesuatu yang datang dari orang-orang yang mengetahui, orang-orang yang tidak mempunyai penglihatan atau pertimbangan yang benar.
Menurut Sokrates, pada dasarnya manusia itu baik, seperti sebuah barang yang diciptakan karena tujuan tertentu. Seperti halnya meja, ia diciptakan untuk melaksanakan tujuan baik menopang barang-barang milik manusia. Sokrates percaya akan adanya Tuhan, percaya bahwa Tuhan memberikan bimbingan yang bisa dirasai dari dalam diri untuk segala perbuatan, diistilahkan dengan daimonion.
Hukuman Mati
|
(Ilustrasi dari: Pewarta-Nusantara.com) |
Dari caranya bersoal yang berani dan jujur itu, Sokrates memiliki banyak kawan. Begitu pula para pemuda di Athena begitu mencintainya. Sebaliknya, banyak orang dari kalangan sofis kemudian memusuhinya karena dianggap ’menelanjangi mereka di ruang publik’. Pada akhirnya, Sokrates diajukan ke pengadilan rakyat dengan dua tuduhan:menyangkal keberadaan dwa-dewa orang Yunani dan menyesatkan pikiran para pemuda.
Melihat susunan mahkamah pada pengadilan tersebut, Sokrates paham bahwa hukuman untuknya telah ada sebelum sidang dimulai. Daripada menjilat dan mengiba agar diampuni, Sokrates lebih memilih mengungkapkan keresahannya. Di hadapan hadirin, ia mengatakan tidak bersalah dan justru berjasa bagi para pemuda dan masyarakat Athena. Sebaliknya, ia harusnya diberi imbalan oleh Prythaneion (balai kota) bukan malah dipenjara. Para hakim juri terkejut dan tersinggung kemudian bersepakat memberi hukuman mati pada Sokrates.
Selama masa penahanan menjelang eksekusi mati dengan meminum racun, banyak teman dekatnya yang mengajak untuk kabur dan tinggal di kota lain. Sokrates mengajak mereka berdialog, membahas kemungkinan mana yang lebih baik untuknya antara bertahan atau kabur. Pada akhirnya, ia memilih untuk tinggal dan menerima hukuman, atas dasar kepatuhan pada hukum dan kecintaan pada tanah airnya.
Plato yang saat itu berumur 20an tahun telah menjadi murid Sokrates dan melihat sendiri bagaimana gurunya meninggal secara perlaha setelah menenggak racun yang telah disiapkan. Ia sedih, dan kesedihannya bahkan melebihi gurunya yang tetap tenang hingga ajal menjemput. Kelak, Plato meneruskan ajaran gurunya, megeluh-eluhkannya, dan kemudian mengembangkannya. []
Referensi:
Hatta, Mohammad. 2006. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI-Press
More From Author
Filsafat