Ajaran Etika Aristoteles pada dasarnya serupa dengan ajaran Sokrates maupun Plato. Tujuannya
adalah mencapai
eudaemonie, kebahagiaan sebagai barang tertinggi dalam kehidupan. Bedanya,
Aristoteles memberikan penjelasan yang lebih realistis dan sederhana. Ajaran etika ini berfokus pada
kebahagiaan yang dicapai oleh manusia sesuai dengan jenis kelaminnya, pekerjaannya, atau derajat
sosialnya.
Tujuan hidup bukan untuk mencapai kebahagaan, namun merasai kebahagiaan itu. Kebahagiaan
dokter atas kesembuhan pasiennya, kebahagiaan pengusaha atas kemakmuran yang diciptakan,
kebahagiaan pejuang atas kemenangannya, dan lain sebagainya.
Tujuan kita bukan untuk mengetahui, melainkan untuk berbuat. Bukan untuk mengetahui apa itu
budi, melainkan supaya kita menjadi orang yang berbudi. Tugas etika adalah mendidik kemauan
manusia untuk memiliki sikap yang pantas dalam segala perbuatan. Orang harus mempunyai
pertimbangan yang sehat, tahu menguasai diri, pandai menyeimbangkan antara keinginan dan cita-cita.
Budi pikiran, seperti kebijaksanaan, kecerdasan, dan pendapat yang sehat lebih diutamakan
daripada budi perangai seperti keberanian, kesederhanaan, pemurah hati, dll. Supaya pandangan
yang sehat, yaitu budi dan tahu, memengaruhi sikap manusia maka perlulah manusia pandai menguasai diri. Jika tak pandai menguasai diri, akan terjadi pertentangan pikiran dan perbuatan. Hal ini didasari pada kemampuan manusia yang tak selalu tepat pertimbangannya, kadang kala berbuat
tidak masuka akal karena dikuasai naluri kehewanan.
Ada tiga hal yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kebahagiaan hidup. Pertama, manusia perlu
memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemiskinan membuat manusia
menjadi pribadi yang rendah dan memaksa ia menjadi loba. Kepemilikan harta membuat ia terbebas
dari kesengsaraan dan keinginan yang meluap dan tak terpenuhi.
Kedua, persahabatan sebagai salah satu alat terbaik untuk mendapat kebahagiaan. Bagi Aristoteles,
persahabatan lebih tinggi derajatnya daripada keadilan. Sebab ketika orang-orag memiliki
persahabatan, disanalah keadilan akan timbul dengan sendirinya.
Ketiga, keadilan. Keadilan ada dua seginya. Pertama, keadilan dalam arti pembagian barang-barag
yang seimbang. Kedua, dalam arti memperbaiki kerusakan yag ditimbulkan, misalnya perjanjian
mengganti kerugian. Jenis yang kedua ini adalah keadilan menurut hukum.
Pada akhirnya, kebahagiaan akan menimbulkan kesenangan jiwa. Hal ini akan tercapai melalui kerja
pikiran. Kesenangan jiwa mendorong manusia menjadi lebih giat. Karena rasa puas, tak kenal lelah,
dan kesanggupan istirahat merupakan bawaan dari kerja pikiran, maka kebahagiaan yang sebesarbesarnya bagi manusia terletak di dalam hal itu.
Menurut Aristoteles, keadilan dan persahabatan merupakan budi yang menjadi dasar hidup bersama
dalam keluarga dan negara. []
More From Author
Filsafat