“Menua itu pasti, menjadi dewasa adalah pilihan”
Ungkapan yang sudah masyur ini seringkali menjadi motivasi bagi siapapun yang sedang melakukan
pencarian jati diri. Juga menjadi bahan renungan bagi mereka yang terlanjur ‘menua’ namun belum
juga menemukan jalan tepat untuk berjuang dan menggapai tujuan hidup.
Siapapun sepakat bahwa pada usia seperempat abad seseorang tak bisa lagi dikata sebagai anak-anak atau remaja. Ia sudah menjadi pemuda, dan seharusnya juga dewasa. Pertanyaan soal karir, relasi romansa, dan pengabdian untuk umat semakin mendayu. Apakah memang ketiganya menjadi
standar baku bagi satu individu dikata dewasa?
Tidak selalu!
Bayangkan, misalnya, ada seorang anak miskin, bodoh, dan hidup dalam lingkungan masyarakat yang ‘tidak beradab’. Ia bekerja keras, bersekolah dengan peralatan seadanya, kemudian menemukan minatnya pada bidang tertentu. Singkat cerita ia bisa lulus sekolah setingkat SMA dan mulai bekerja keras membangun karir. Ia dididik oleh keadaan untuk menjadi lebih dewasa dalam bersikap. Di ruang dan waktu yang lain, ada seorang anak yang hidup dengan cukup mapan dan tumbuh dengan didikan yang ketat. Ia belajar dan selalu mendapat dukungan orangtuanya. Anak itu juga punya kesempatan melanjutkan studi ke perguruan tinggi lalu kemudian membangun karir setelah lulus. Didikan yang ketat membuatnya memiliki etika yang baik.
Kedua anak itu, pada usia yang sama, punya keberhasilan karir yang mirip. Sikap hidupnya mirip. Kebijaksanaan dan kedewasaan dalam mengambil keputusan juga mirip. Pertanyaannya, apakah ‘nilai’ keberhasilan hidup dan pendewasaan diri keduanya juga sama tinggi?
Tidak!
Kita akan sepakat bahwa anak dalam cerita pertama harus mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Ia berawal dari keadaan yang seburuk-buruknya. Seiring berjalannya waktu ia belajar banyak hal dan mengalami pendewasaan. Anak dalam cerita kedua tidak begitu. Ia punya segala hal yang bisa menunjangnya untuk menjadi orang yang ‘berhasil’.
Jadi, kesimpulannya, ukuran terbaik dalam menilai keberhasilan pendewasaan diri adalah diri kita di masa lalu. Apakah kita berangkat dari keadaan yang rendah menjadi sedang atau rendah menjadi tinggi? Mungkinkah mengalami stagnansi dalam penempaan diri? Atau, yang paling buruk, mengalami penurunan kualitas dalam proses pendewasaan diri?
25 Tahun Perjalanan Hidupku
Berasal dari keluarga yang ‘tidak baik-baik saja’. Keadaan ekonomi juga menengah ke bawah. Tibatiba harus memakai seragam dan belajar di ruang kelas yang ramai tanpa tahu alasan ‘kenapa?’. Di rumah, tak ada yang mengajarimu berhitung dan membaca. Tak ada yang mengingatkanmu untuk mengerjakan PR atau belajar untuk ujian di esok hari.
Hidup mengalir begitu saja. Proses pencarian jati diri berasal dari keinsafan bahwa hidup harus berjalan dengan normal. Jika tidak menyadari itu, kau hanya akan berakhir sebagai pecundang. Kau mempelajari semuanya atas dasar keinginan dan kebutuhanmu. Kau beranjak remaja, mengambil studi di sekolah menengah yang sebenarnya tak kau inginkan. Pertanyaan yang sama mencuat seperti pada awalnya, ‘kenapa harus melakukannya?’. Tapi hidup harus berjalan, kau harus menantang segala keadaan agar bisa terus bertahan.
Kurang lebih begitu sedikit gambaran pada awal perjalan hidupku, sebelum seperlima abad usia. Titik yang gelap sebagai langkah pertama menjalani hidup. Namun, di ruang yang gelap ada setitik cahaya yang menyinari. Dibalik segala yang buruk nampaknya, ada ilham yang bisa dipetik dan dipelajari.
Orangtua yang tak akur, juga tetangga yang kadang mengungkit betapa tak harmonisnya hubungan dalam keluarga kami, pada akhirnya membuatku memilih lebih banyak mengurung diri dalam kesunyian. Lembaran-lembaran buku pelajaran sekolah kubaca karena kebosanan yang sudah sangat mendera. Semua bacaan yang ada kuhabiskan. Waktu itu usiaku belum genap sepersepuluh abad. Mulai saat itu pula prestasi akademikku meningkat sementara hubungan sosialku merenggang. Keadaan seperti itu seakan membuat hidupku tamat. Bagaimana mungkin menjalani hidup tanpa dukungan orang terdekat dan tak tahu alasan dibalik segala hal yang harus dilakukan?
Namun kulihat teman-teman sekelas. Sejak sekolah dasar sampai duduk di bangku kuliah ternyat banyak yang mendekatiku. Rupanya sedikit prestasi akademik membuat mereka dengan rendah hati memintaku mengajari beberapa subyek pelajaran. Hubungan kami pun menjadi baik dan dengan itu pula tak ada yang mencoba memusuhiku. Aku berteman baik dengan beberapa orang, membentuk persahabatan dengan tujuan ‘lulus sekolah dengan kehormatan tertinggi’, meskipun seringkali kelakuan kami melenceng dari tujuan itu. Aku merasa sedikit hidup pada masa-masa itu.
Pada masa akhir SMA, ada pertaruhan besar yang harus kubuat. Berangkat dari ketiadaan alasan untuk memilih jenjang sekolah itu, kini aku harus membuat keputusan hidup untukku sendiri. Tak ada saran dari siapapun. Orangtua yang sejak awal menganggap menyekolahkan anak hanya sebagai ‘etika sosial’ juga tak memberi suntikan moral sedikitpun. Pada akhirnya segalanya kukerahkan untuk menentukan tujuan hidup.
Kucoba mencari peruntungan dengan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan plat merah. Menyelesaikan 5 dari 6 tahap seleksi, menyingkirkan ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa Timur, dan tinggal menunggu apakah berhak mengikuti wawancara sebagai tahap akhir peruntungan. Namun pada akhirnya harapan itu sirna, aku gagal menuju penghabisan.
Beberapa minggu kemudian pengumuman lain datang, dari panitia ujian masuk perguruan tinggi. Aku diterima di sebuah kampus negeri lewat jalur beasiswa tanpa tes tulis. Beberapa minggu setelah itu datang pula surat dari perusahaan plat merah tadi, undangan untuk mengikuti seleksi lagi namun dengan penempatan di wilayah lain, luar Jawa. Tentunya pula dengan seleksi yang lebih ringan
karena aku sudah membuat pembuktian sebelumnya.
Aku mencoba memantapkan diri. Pada akhirnya kubulatkan tekad untuk mengambil studi lanjut di perguruan tinggi daripada langsung bekerja meskipun ada jaminan untuk menapaki jenjang karir yang bagus.
Singkat cerita, banyak hal yang kupelajari semasa menempa diri di perguruan tinggi. Menyerap pengetahuan dari dosen yang sungguh luas, juga melakukan cara-cara belajar yang sama sekali baru. Selain itu hidup di organisasi membuatku mampu mengembangkan kemampuan baru, merasai konflik di dalamnya untuk penempaan diri, dan mengenal orang-orang baru dengan berbagai latar. Pada akhirnya, belajar fisika juga memperkenalkan kepadaku sudut pandang baru dalam memahami kehidupan.
Keinsafan Menjalani Hidup
Banyak hal yang terjadi setelah seperempat abad usia. Banyak pelajaran kudapat, dan yang paling kusyukuri adalah perubahan cara pandang terhadap kejadian pilu di masa lalu. Pada awalnya, berbagai intrik dalam relasi keluarga kupandang sebagai sebuah aib yang mengekang untuk berkembang. Ia seakan menjerat dan mempermalukan di depan orang-orang yang menjalani hidup dengan cara yang ‘normal’.
Namun seiring berjalannya waktu, ketika banyak kejadian dan pengetahuan datang, kucoba memperbaiki cara berpikir itu. Kini aib masa lalu kujadikan tolok ukur untuk mengetahui seberapa besar perubahan hidup yang sudah kulakukan.
Mohon maaf, ini mungkin terlihat sebagai bentuk kesombongan, namun aku bisa merasai kebanggaan dengan diriku yang sekarang meskipun semua terlihat biasa saja nampaknya. Karir yang biasa dan kisah romansa yang tak kunjung menunjukkan roman-nya juga tak menjadi masalah bagiku. Cinta terbesar kuberikan untuk diriku sendiri.
Nyatanya, kebanyakan orang yang memulai kisah hidupnya dari keterbatasan ekonomi dan kemudian menjadi hebat di masa depannya, sebagian besar mendapat dukungan dan kasih dari orang-orang terdekat. Mereka yang berasal dari kalangan tak mapan dan kemudian mendapati kenyataan bahwa dirinya tak mendapat dukungan dan kasih dari orang-orang sekitar, banyak dari mereka kemudian ‘berakhir’ dengan tragis. Salah satu bentuk syukur dan keinsafan terbesarku adalah bahwa aku tak termasuk orang yang berakhir tragis seperti itu.
Kini ku terus memandang ke depan. Luka masa lalu mengajarkanku untuk menjadi orang yang peduli pada siapapun. Juga mengajarkan bahwa karir terbaik didapatkan ketika banyak orang yang ikut merasai pencapaian kita, betapapun kecil nominal rupiah yang masuk dalam saku. Soal hubungan asmara, aku percaya bahwa kisah terbaik muncul pada waktu yang tepat bersama orang yang tepat pula. Orang ‘istimewa’ pada akhirnya akan dipertemukan dengan orang ‘istimewa’ lainnya, begitulah
keyakinan dalam diriku. []
More From Author
Cerita