Tahun 1998
Masa kecilku dihabiskan dengan berpindah-pindah tempat tinggal. Sejak lahir hingga usia sekitar 4 tahun aku tinggal bersama ayah dan ibu di Pakisaji, Kabupaten Malang. Kemudian aku pindah sementara di Undanawu, Kab. Blitar, selama sekitar setahun. Di sana ada beberapa rumah berderet dan satu rumah agak jauh, semuanya masih dalam satu keluarga. Aku tinggal berdua bersama nenek buyut, rumah lainnya ditinggali oleh paman-bibi dan kakek-nenek.
Keadaan lingkungan di Blitar berbeda jauh jika dibanding dengan di Malang. Erupsi Gunung Kelud yang sering terjadi mempengaruhi banyak hal soal kehidupan di sini, juga karena daerah ini agak jauh dari pusat keramaian. Sanitasi yang buruk, akses jalan berupa tanah berdebu, dan air yang sulit ditemukan sehingga jarang ada warga yang bercocok tanam adalah sedikit gambarannya. Namun dalam kehidupan yang sederhana itu, ada kebahagiaan yang sering nampak dalam keseharian kami.
Sebagai anak kecil, rasa penasaran yang kadang terlalu menggebu adalah hal biasa. Dalam keseharianku di Blitar, aku banyak memperhatikan kebiasaan orang di sana. Salah satu yang sering kuamati adalah kebiasaan semua laki-laki di keluarga kami yang suka merokok. Mulai dari kakek hingga paman-pamaku. Ayahku yang sering ke sana pun juga sering kujumpai mengisap barang itu. Kalau nenek buyutku, di usianya yang sudah sepuh itu ia suka mengunyah tembakau yang dicampur sesuatu. Aku pernah ditawari untuk merasakannya, tapi aku hanya tersenyum dan tak pernah mau mencobanya.
Kebiasaan mereka yang merokok setiap hari itu seringkali menimbulkan pertanyaan dalam diriku. Apakah itu adalah kebiasaan yang normal seperti makan dan minum? Bagaimana rasanya kalau aku mencoba? Saat itu aku tak tahu bahwa rokok adalah barang haram bagi anak kecil, tak pernah ada yang memberi tahu.
Karena saking penasarannya, suatu hari kucoba mengambil sebatang rokok milik paman yang sering disimpan di lemari kecil ruang tamu. Sebungkus rokok dengan sampul berwarna cokelat kehitaman berisi enam belas batang rokok aku temukan. Kuambil satu, lalu,menyalakannya, dan kemudian mengisapnya sambil bersembunyi. Rasanya biasa, asap yang mengepul justru membuat agak sesak. Sejak saat itu, aku sudah beberapa kali mengambil rokok milik pamanku secara diam-diam mengisapnya secara sembunyi-sembunyi. Sebenarnya aku tidak merasa ada sensasi khusus ketika melakukannya, biasa saja. Semua terjadi dan menjadi kebiasaan karena rasa penasaran dan keinginan meniru kebiasaaan mereka.
Tentu saja seiring berjalannya waktu, kebiasaan itu mulai terendus oleh mereka yang ada di rumah. Pamanku sering menyadari bahwa batang rokoknya tiba-tiba berkurang. Terkadang ia tahu aku bersembunyi di bawah meja sambil menyalakan rokok di tangan, namun ia tak langsung ‘menyergapku’. Tak pernah ada memarahiku. Bahkan seringkali, saat aku sudah benar-benar ketahuan dan kemudian berhenti, banyak yang menjadikan kelakuanku itu sebagai bahan guyonan yang kadang membuatku tersipu malu.
Barangkali mereka sadar kalau alasan yang melatariku melakukan semuanya adalah karena kebiasaan yang mereka perlihatkan di hadapanku selama ini. Akupun juga tak merasa begitu bersalah atas kejadian seperti itu. Dalam pikiran sederhana anak kecil, tak ada istilah benar atau salah. Yang ada hanyalah rasa ingin tahu yang kadang terlalu menggebu.
Aku menghilangkan kebiasaan merokok itu sejak pulang kembali ke Pakisaji untuk mulai belajar di TK. Alasan pertama, karena lingkungan berbeda tentunya memiliki standar toleransi berbeda untuk hal-hal semacam itu. Alasan kedua, karena memang aku merasa itu bukanlah sesuatu yang penting dan memberi kenikmatan tertentu ketika melakukannya.
Aku tak pernah lagi merokok hingga kini, meskipun ketika SMP dan SMA banyak tema-temanku mulai berkenalan dan kemudian terbiasa merokok. Lucu memang, disaat anak-anak lain mulai melakukan halsemacam itu, aku bahkan sudah ‘terrehabilitasi’ jauh-jauh hari.
Dari pengalaman kecil yang tak patut bagi seorang anak kecil itu, aku mendapat peajaran bahwa keadaan lingkungan turut andil dalam membentuk kepribadian dan kebiasaaan seseorang. Sangat besar pengaruhnya! Orang-orang yang tinggal bersama kita serta berbagai kebiasaannya, merekalah yang menjadi pondasi dari terbangunnya karakter dan kebiasaan pada diri kita. []
More From Author
Cerita