Terhitung sejak 28 April 2021, Mas Nadiem telah secara resmi menjadi Mendikbud Ristek. Ya!
Pendidikan. Kebudayaan. Riset. Teknologi.
Membaca nama lembaganya saja, saya sudah merasa beban di pundak Mas Nadiem sangat berat. Pendidikan, mengurusi lembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal. Kebudayaan, mengurusi bahasa dan sastra. Riset, berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Teknologi, berhubungan dengan alat-alat praktis nan canggih yang menunjang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertanyaan pun muncul: ‘Apakah seorang mantan bos perusahaan startup berlabel unicorn yang baru 2 tahun menjadi menteri bisa memanajemen kementerian sekompleks itu?"
Mungkin saja setiap bidang nantinya dipimpin oleh seorang dirjen yang sangat kompeten, tapi bukankah Presiden hanya berkomunikasi dengan Menko PMK dan Mas Menteri, bukan dengan para dirjen? Lalu kita bisa berbaik sangka dengan mengatakan bahwa Mas Nadiem cukup baik dalam berkoordinasi dengan para dirjennya, menerjemahkan dengan baik ideologi presiden yang kemudian diturunkan menjadi program teknis. Kita berharap seperti ini nyatanya.
Namun ada satu fakta lain yang menggelitik: Empat bidang ini tidak benar-benar serumpun satu sama lain. Kebudayaan dengan riset misalnya. Hal yang seperti ini memunculkan persepsi bahwa peleburan keempatnya dalam satu kementerian sekadar untuk merampingkan lembaga atau demi bisa membentuk lembaga lain. Dalam simpulan yang ‘tidak sopan’, kebijakan ini seakan-akan menunjukkan bahwa bidang-bidang ini tidak menjadi prioritas setidaknya sampai 3 tahun mendatang.
Saya tidak ingin menyalahkan Mas Nadiem, juga ragu apakah harus menyalahkan Presiden. Masalahnya, lingkaran Presiden didominasi para ekonom dan juga pebisnis. Karenanya sangat wajar jika prioritas pemerintah sekarang adalah soal ekonomi. Sesuatu yang sebenarnya normal, sama normalnya ketika –jika- Elon Musk menjadi Presiden AS. Barangkali ia akan mengalokasikan anggaran sainstek lebih besar dari anggaran untuk pertahanan, suatu kebijakan yang akan membuat seisi dunia terkaget-kaget.
Saat awal menunjuk Mas Nadiem sebagai Mendikbud, seingat saya, penekanan yang diberikan Presiden adalah soal integrasi pembelajaran dengan teknologi. Ini adalah hal yang teknis, sangat teknis. Ini jauh dari sebuah konsep ideologi pendidikan atau reformasi kurikulum. Istilahnya, Presiden meminta Mas Nadiem untuk mempercantik rumah yang sudah ada, bukan membangun ulang rumah demi memperkokoh pondasi dan bangunannya.
Dari semua Menteri Pendidikan yang saya ketahui, Pak Mohammad Nuh menurut saya adalah yang terbaik. Beliau memungkinkan kami dari kalangan tidak mampu dan teman-teman 3T untuk bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi melalui beasiswa Bidik Misi. Dampaknya luar biasa! Juga kemudian reformasi kurikulum menjadi Kurikulum 2013 bisa (sedikit) memperbaiki sistem pendidikan kita.
Setelahnya, program Anies Baswedan tak sampai berdampak. Peran Pak Muhajir cukup baik mengingat statusnya sebagai menteri hasil reshuffle. Periode Mas Nadiem sangat mengenaskan. Permintaan Presiden benar-benar terlaksana, namun sebenarnya tak ada yang menginginkan hal itu, termasuk Presiden dan Mas Menteri sendiri. Integrasi teknologi dalam pembelajaran mau tak mau memang harus dilakukan akibat pandemi Covid-19, bentuknya sekolah daring, sebuah bentuk yang tak pernah disangka sebelumnya.
Oh ya, waktu kuliah dulu kami di kelas pernah membedah satu buku untuk kuliah satu semester. Judul dalam bahasa Indonesianya adalah ‘Mereformasi Pendidikan: Konsep dan Praktik Komunitas Belajar’ karya Manabu Sato. Isinya soal konsep pendidikan & masyarakat abad 21, filosofi komunitas belajar, reformasi pembelajaran, dan lain sebagainya. Mengalisis isi buku itu dalam konteks keIndonesia-an, rasanya kita harus menyadari bahwa sistem kita tertinggal beberapa langkah dari konsep pendidikan abad 21 itu.
Di periode Mas Nadiem sekarang, kita tidak bisa berharap terlalu tinggi sehubungan dengan reformasi pendidikan untuk menyesuaikannya dengan konsep pendidikan Abad 21 itu. Namun kedepan, Kementerian Pendidikan (saya ingin bidang pendidikan jadi kementerian tersendiri) harus mulai menjamah aspek-aspek ideologis seperti reformasi kurikulum agar kualitas pendidikan kita tidak tertinggal 100 tahun dari negara-negara sepeti Jepang. []
More From Author
Pendidikan