Abu Hamid Al-Ghazali lahir pada 450 H di Thus, Khurasan. Masa kecinya berada pada lingkaran kemiskinan dalam bimbingan seorang sufi, yang kemudian memasukkannya ke sekolah penampungan anak tidak mampu.
Al-Ghazali belajar sejumlah ilmu pengetahuan di tanah kelahirannya. Setelah itu ia merantau ke Jurjan, lalu ke Naisabur saat Imam Haramayn Al-Juwaini menjabat kepala Madrasah Nizamiyah. Ia berada dalam bimbingan Al-Juwaini hingga sang guru meninggal. Pada tahun 478 H, Al-Ghazali mengembara ke Mu’askar. Ia menetap di sana sampai akhirnya menjadi pengajar di Madrasah Nizamiyah Bagdad pada 484 H. Pada puncak karir keilmuannya, kuliah Al-Ghazali dihadiri ratusan ulama terkemuka.
Karena suatu persoalan, dirinya keluar dari Madrasah Nizamiyah dan menuju pengasingan di padang pasir selama 9 tahun. Dalam rentang waktu itu ia mengunjungi Syam, Hijaz, dan Mesir, kemudian kembali ke Naisabur. Akhirnya, Al-Ghazali kembali lagi ke Thus dan menghembuskan nafas terakhir pada tahun 505 H.
...
Al-Ghazali hadir saat dunia Islam diselimuti silang pendapat dan pertentangan. Masing masing kelompok, aliran, dan faksi mengaku memiliki otoritas kebenaran. Ia menggambarkan: “Perbedaan manusia mengenai agama, aliran, dan keragaman imam mazhab adalah samudra yang sangat dalam. Yang telah menenggelamkan banyak orang dan hanya sedikit orang yang bisa selamat.”
Sejak masa mudanya, ia berhadapan dengan banyak aliran, kelompok, dan pendapat berseberangan. Al-Ghazali mampu mementahkan hegemoni pemikiran tradisonal dan mencampakkan kesakralannya. Selanjutnya, ia mulai melakukan kajian untuk menemukan kebenaran sejati dari silang pendapat berbagai kelompok. Pada tahap ini, keraguan telah terinternalisasi dalam dirinya tentang “mana diantara semua kelompok ini yang benar?”
Ia merasakan benturan antardalil, diceritakan dalam karyanya Jawahir al-Qur’an. Karya ini bercerita tentang suatu masyarakat, dimana terdapat kontradiksi antarsemua zahir dalil sehingga mereka saling menyesatkan satu sama lain. Bagi Al-Ghazali, hal ini tidak mustahil. Pertentangan dalil adalah sesuatu yang alami.
Al-Ghazali melakukan pencarian kebenaran dengan perangkat akal, indra, makna zahir Al-quran dan Hadis, disiplin ilmu lain untuk keperluan pembuktian kebenaran yang banyak dikenal masa itu. Pada akhirnya, ia menyimpulkam empat golongan pencari kebenaran. Golongan pertama adalah Teolog (mutakallimun) sebagai golongan rasional (ahl ar-ra’y wa an-nazar) dengan pemikirannya tertuang dalam ilmu kalam. Golongan kedua adalah penganut kebatinan (batinniyah), kelompok orang yang mengklaim diri sebagai pemegang pengajaran (ta’lim) dan yang mengkhususkan diri pada adopsi ajaran imam yang suci (al-Imam al-Ma’sum). Golongan ketiga adalah kelompok filusuf yang mengklaim diri sebagai pemilik logika dan penalaran demonstratif. Terakhir, golongan sufi yang mengaku sebagai kelompok elit yang terhormat (khawwas al-hadrah) dan yang bisa menyaksikan dan menyingkap kebenaran hakiki (ahl al-musyahadah wa al-mukasyafah).
Ilmu Kalam
Al-Ghazali memulai perjalanan inteketual mencari kebenaran sejati dengan mengkaji ilmu kalam, membedah karya para tokoh ternamanya. Kemudian, ia menulis buku sesuai disiplin ilmu ini sesuai dengan pandangannya, menemukan bahwa ilmu kalam telah mampu memenuhi tujuannya, namun belum mampu memenuhi impian Al-Ghazali.
Tujuan ilmu kalam adalah menjaga akidah umat –yang tumbuh sebagai seorang muslim- dari berbagai keraguan yang bertebaran di sekitarnya. Namun untuk orang-orang yang tidak dibesarkan sebagai muslim atau tidak beriman terhadapnya, belumlah menjadi orientasi dari ilmu kalam. Al-Ghazali berkata:
“Kebanyakan wacana yang dikembangkan oleh para ahli ilmu kalam adalah persoalan bagaimana merumuskan tanggapan atas lawan-lawan polemiknya dan melecehkan mereka dengan menggunakan postulat-postulat mereka sendiri.”
Tujuan Al-Ghazali berbeda dengan ini. Ia ingin mengetahui hakikat kebenaran agama yang didukung oleh akal sehingga sampai pada tingkat kepastian matematis dalam detail dan kejelasannya. Ilmu kalam tidak mampu menghapus gulita kebingungan dalam belantara perbedaan pendapat umat Islam.
Pengujian Dalil Filusuf
Setelah mengkritisi ilmu kalam, Al-Ghazali mengalihkan perhatiannya kepada para filusuf untuk melakukan pengujian dalil mereka. Studi yang dilakukan oleh Al-Ghazali bersandar pada teks-teks terjemahan filsafat Yunani oleh para filusuf Arab terutama Al-Farabi.
Al-Ghazali mendapati banyak kontroversi di dalam ajaran filsafat, terutama soal metafisika yang bersinggungan degan konsep akidah dalam Islam. “Aristoteles menolak ajaran para filusuf sebelumnya, hingga gurunya sendiri yang disebut Plato Ilahi (Aflatun al-Ilahi). Kemudian ia memberi klarifikasi atas perbedaannya dengan sang guru dengan mengatakan: Plato benar, dan kebenaranya juga benar. Tapi kebenarannya lebih benar daripadanya.”
Al-Ghazali menemukan bahwa tak ada yang ajeg dan sempurna dalam mazhab pemikiran mereka. Mereka menetapkan kesimpulan berdasarkan hipotesis (Zann) dan estimasi (takhmin), tanpa ada pemastian (tahqiq) dan keyakinan (yaqin). Ia menyadari bahwa menggiring akal menuju jalan pemikiran filusuf ini di luar kemampuan dirinya. Cara akal memahami persoalan matematika tidak dapat diterapkan pada persoalan ketuhanan.
Ia keluar dengan kesimpulan bahwa argumen para filusuf pada soal metafisika tidak bersifat pasti (eksak), tidak mencapai kejelasan matematis seperti ilmu-ilmu alam. Karenaya, ia memilih meninggalkan filsafat. Al-Ghazali kemudian menulis buku yang berisi kritik dan penolakan pandangan filusuf, terutama soal metafisika.
Kelompok Ta’limiyah
Setelah kecewa dengan kelompok filusuf, Al-Ghazali mencurahkan perhatian pada kelompok Ta’limiyyah yang mengatakan “Sesungguhnya akal tidak bisa dijamin aman dari kesalahan. Maka tidak bisa dibenarkan mengambil ajaran agama darinya.” Bagian inilah yang membuat Al-Ghazali tertarik mendalami pemikiran kelompok ini.
Dari mana kelompok ini mengambil ajaran-ajaran agama dalam kemasan yang meyakinkan? Mereka mengambilnya dari ‘Sang Imam yang Suci’ (al-Imam al-Ma’sum), yang memperolehnya dari Allah melalui perantara Nabi. Al-Ghazali tertarik pada figur Imam dan terhadap apa yang dibawanya melalui caranya. Dimanakah sosok Imam tersebut? Al-Ghazali melacaknya lama sekali namun tak pernah menemukannya. Iapun menyimpulkan bahwa mereka tertipu dan sang Imam tidak ada di dunia nyata. Ia kembali dengan tangan hampa, setelahnya banyak menulis karya yang menentang kelompok ini.
Kelompok Tasawuf dan Ajaran Sufisme
Akhirnya, Al-Ghazali bersandar pada ke kelompok tasawuf. Mereka menyatakan kemampuannya menyikap tirai (kasyf), melihat, dan berhubungan langsung dengan alam malakut, mengambil pengetahuan langsung darinya, serta bisa mengetahui lauh al-Mahfudz beserta rahasia yang terkandung di dalamnya. Bagaimana mereka bisa melakukannya? Mereka mengatakan, hal itu dapat dicapai dengan ilmu dan akal.
Setelah mendapat penjelasan dari kelompok yang teridentifikasi pandangan sufisme ini, sikap Al-Ghazali digambarkan dengan: “meninggalkan popularitas yang disandangnya, keadaan yang serba tertata sepi dari kesusahan hidup dan jaminan perlindungan yang terjaga dari ancaman musuh.”
Al-Ghazali telah memilih jalannya. Suatu ketika ia bertolak ke Syam, di saat yang lain mengunjungi Hijaz, lalu ke Mesir dalam rangka melarikan jiwanya dari khalayak. Menarik diri dalam kesepian dan menerapkan apa yang diisyaratkan oleh para ahli tasawuf. Orang tasawuf berkata, “memutuskan hubungan hati dengan dunia dengan menyingkir dari tempat penuh tipuan menuju tempat keabadian serta menerima inti himmah kepada Allah. Itu tidak akan terwujud sempurna kecuali berpaling dari harta dan kedudukan, lari dari kesibukan dan hubungan duniawi, bahkan hainya menganggap sama antara ada dan tiadanya sesuatu.”
Inilah metode sufistik. Persoalan metode ini hanya kembali pada ‘penyucian murni’ (tathir mahd) dari segala yang ada di sekitar, ‘pemurnian’ (tasfiyyah), ‘kecerahan’ (jala’), kemudian ‘persiapan’ (isti’dad), dan ‘penantian’ (intizar). Al-Ghazali merasa puas dengan penjelasan ini dan merasa mendapat pengetahuan yang menenangkan jiwanya serta menjamin terbebas dari kesalahan. Al-Ghazali pun mengakhiri perjalanan intelektualnya dengan menjadi seorang sufi. []
Sumber tulisan:
Pengantar Tahafut al-Falasifah